Jumat, 24 September 2010

SOPPENG

Kabupaten Soppeng adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 250.000 jiwa.

Sejarah
sejarah soppeng diawali dengan munculnya "tomanurung" dalam istilah bahasa Indonesia dikenal sebagai orang yang muncul seketika. Saat itu, masyarakat Soppeng tengah dilanda kegetiran dan kemiskinan ditambah dengan penderitaan rakyat, maka berkumpullah toko-toko masyarakat "tudang sipulung" untuk membahas masalah ini, di tengah pembericaraan mereka, seekor kakak tua (dalam bahasa bugis dikenal sebagai "cakkelle"). Cakkelle ini terbang tepat di atas perkumpulan itu, sehingga para toko yang melihatnya merasa ada sesuatu yang lain dari cakkelle ini. Akhirnya, pimpinan tudang sipulung, menyuru si Jumet, salah seorang toko masyarakat bersama dengan rekannya yang lain untuk mengikuti cakkelle tersebut.

Geografis
Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae, yang terdiri dari daratan dan perbukitan, dengan luas daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut.

Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.

Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Gunung-gunung yang tertinggi yang ada di wilayah Kabupaten Soppeng menurut ketinggiannya:

* Gunung Nene Conang 1.463 m
* Gunung Sewo 860 m
* Gunung Lapancu 850 m
* Gunung Bulu Dua 800 m
* Gunung Paowengeng 760 m

Kabupaten soppeng memiliki tempat-tempat wisata berupa Kolam permandian mata air"OMPO", dan permandian alam "CITTA" serta permandian air panas alami yang bernama "LEJJA" yang berjarak ± 40 Kilometer dari kantung kota 'watansoppeng' yakni tepatnya di Galungkalunge desa BuluE Kecamatan Marioriawa.

Kecamatan
1. Donri-Donri
Desa dan Kelurahan:
Desa Donri-Donri
Desa Leworeng
Desa Enrekeng
Desa Tottong
Desa Labokong
Desa Lalabata Riaja
Desa Leworeng
Desa Pesse
Desa Sering
Desa Solie
Desa Kessing


2. Ganra
Desa Ganra
Desa Belo

3. Lalabata

4. Liliriaja

5. Lilirilau

6. Marioriawa
Desa BuluE
Desa Laringgi
Desa Patampanua
Desa Tellulimpoe
Desa Panincong
Kel. Manorang salo
Kel. Attang Salo
Kel. Kaca
Kel. Batu-Batu
Kel. Limpomajang

7. Marioriwawo

8. Citta


WISATA
1. Permandian Alam Lejja

Lokasi Permandian ini terletak kurang lebih 40 km dari Ibukota Kabupaten Soppeng
yaitu di Desa Bulue Kecamatan Mario Riawa. Permandian ini sangat menyenangkan
karena selain terdapat 3 (tiga) buah kolom air panas juga dikelilingi oleh gunung-gunung
dan pohon-pohon besar sehingga lokasi ini sangat cocok untuk beristirahat. Menurut
Mitologi warga setempat, kalau kita mandi di kolam tersebut, maka penyakit kita
akan sembuh.

2. Kalong


Keberadaan kalong di jantung Kota Watansoppeng, semakin menambah pesona kota ini. Oleh karena itu ibu kota Watansoppeng dijuluki sebagai kota kalong. Uniknya kalong ini hanya mau berdiam dan bergelantungan di pepohonan sepanjang kota Watansoppeng.

Menjelang matahari tenggelam di ufuk barat, kalong ini beterbangan mencari
makanan dan menjelang matahari terbit seiring dengan gema suara azan subuh,
kalong ini kembali ke tempatnya dengan suara yang khas dan brisik seakan membangunkan
masyarakat kota Watansoppeng untuk memulai aktifitasnya.

3. Kompleks Istana Datuk Soppeng

Kompleks Istana Datu Soppeng terletak di jantung kota Watansoppeng berhadapan
dengan Villa Yuliana yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa Pemerintahan
Raja Soppeng I LATEMMAMALA bergelar PETTA BAKKAE.

Dalam Kompleks tersebut terdapat bangunan, antara lain: BOLA RIDIE (Rumah Kuning),
yang berfungsi untuk menyimpan berbagai jenis atribut kerajaan, SALASSAE berfungsi
sebagai Istana Datu Soppeng, MENHIR LATAMMAPOLE berfungsi sebagai tempat menjalani
hukuman bagi orang yang melanggar adat dengan cara mengelilingi 7 kali.

4. Rumah Adat Sao Mario

Rumah Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo Kecamatan Marioriawa,
sekitar 30 km dari kota Watansoppeng.

Di dalam kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat berbagai jenis Rumah Adat
yang bergaya Arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Minangkabau dan Batak.
Rumah Adat Sao Mario di samping berfungsi sebagai museum dengan koleksi berbagai
jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai daerah di Indonesia dan
Luar Negeri seperti: Kursi, Meja, Tempat Tidur, Senjata Tajam dan berbagai macam
batu permata.

5. Villa Yuliana

Villa Yuliana merupaka salah satu bangunan peninggalan Belanda di Kabupaten
Soppeng, bangunan ini terletak di jantung kota Watansoppeng dibangun oleh C.A.
KROSEN Tahun 1905 selaku Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi.

Konstruksi dan arsitektur bangunan ini merupakan perpaduan gaya Eropa dan gaya
Bugis. Villa Yuliana ini merupakan bangunan kembar, satu diantaranya ada di
Nederland, pembangunan Villa ini merupakan wujud kecintaan terhadap Ratu Yuliana.

6. Permandian alam citta

Pemandian Alam Citta terletak di Jantung Desa Citta Kecamatan Citta, sekitar
35 km sebelah Timur kota Watansoppeng dan sekitar 15 km dari Cangadi, Ibukota
Kecamatan.

Di obyek ini, pengunjung dapat menikmati Pemandian Alam Citta, disamping mandi
juga dapat menikmati keindahan panorama alam, perkampungan dan berbagai aktivitas
masyarakat seperti pengolahan tembakau secara tradisionil, air Pemandian Alam
Citta juga menjadi sumber air bersih dan telah diolah menjadi air mineral oleh
seorang pengusaha swasta.

7. Permandian Alam Ompo

Pemandian Alam Ompo merupakan salah satu Obyek Wisata andalan domestik. Pemandian
yang terletak di Kelurahan Ompo Kecamatan Lalabata,sekitar 3 Km sebelah Utara
kota Watansoppeng,dikenal dengan airnya yang jernih,dingin dan menjadi sumber
air bersih masyarakat kota serta diolah menjadi air mineral oleh sebuah Perusahaan
Swasta Nasional.

Dalam Kawasan Obyek Wisata Ompo ini,terdapat areal yang luas untuk perkemahan
dan Motor Cross dan juga terdapat sebuah Danau Buatan yang cukup luas sebagai
areal bermain perahu dan memancing ikan air tawar.

8. Permandian Air Panas Lejja

Pemandian Air Panas Lejja merupakan salah satu opbjek wisata andalan yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca negara. Pemandian ini berada dalam
kawasan hutan lindung yang berbukit dengan panorama alam yang indah, sejuk,
nyaman di Desa BuluE, Kecamatan Marioriawa, sekitar 44 km sebelah utara Kota
yang dapat menyembuhkan penyakit rematik dan gatal-gatal.

Obyek wisata ini dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai seperti air bersih,
listrik, areal parkir, jalan beraspal, guest House, Kolam berendam, lapangan
tenis dan baruga wisata untuk pertemuan dengan daya tampung 300 orang.

sejarah singkat soppeng
Saturday, October 18, 2008 4:32 PM
Hari Ulang Tahun Kab. Soppeng sebelumnya ditetapkan pada 13 Maret 1957 yang bertumpu pada keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1954 tentang pembentukan Daerah Otonom Bone, Wajo dan Soppeng di pandang menyimpang dari obyektivitas sejarah. Oleh karena itu sejumlah cendekiawan melakukan usun rembuk kajian sejarah yang makin dipertajam. Kesimpulan yang dihasilkan, hari ulang tahun Kab. Soppeng mesti merangkai benang merah masa lalu dengan perhitungan pelantikan LATEMMALA MANURUNG’E RI SEKKANYILIK yang menjadi Raja pertama Kab. Soppeng pada tahun 1261. Ikhwal penetapan tanggal dan bulan ditarik dari saat-saat yang memiliki makna tertentu, penetapan tanggal 23 dimaksudkan sebagai “Dua Tellu” yang berarti beberapa orang yang memiliki kebersamaan persatuan dan kesatuan (tidak sendirian). Adapun momentum bulan Maret sebagai pelantikan Bupati yang pertama sepanjang sejarah berdirinya Kabupaten Soppeng.


SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG

Soppeng adalah sebuah kota kecil dimana dlm buku-buku lontara terdapat catatan tentang raja-raja yg pernah memerintah sampai berahirnya status daerah Swapraja, satu hal menarik sekali dalam lontara tsb bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah ada kekuasaan yg mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi karena berdasar atas kesepakatan 60 pemukan masyarakat, namun saat itu Soppeng masih merupakan daerah yang terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan2 kecil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Arung,Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara yang mempunyai kekuasaan tersendiri. Setelah kerajaan Soppeng terbentuk maka dikoordinir oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrikvdi Zaman Pemerintahan Belanda.


Literatur yang ditulis tentang sejarah Soppeng masih sangat sedikit. Sebagaimana tentang daerah-daerah di Limae Ajattappareng, juga Mandar dan Toraja, Soppeng hanyalah daerah “kecil” dan mungkin “kurang signifikan” untuk diperebutkan oleh dominasi dua kekuatan di Sulawesi Selatan yakni Luwu dan Siang sebelum abad ke-16. Namun demikian, seperti disebutkan oleh sebuah kronik Soppeng, dulunya Soppeng bersama Wajo, sangat bergantung kepada kerajaan Luwu.

Seiring menguatnya kekuatan persekutuan Goa-Tallo di Makassar; untuk mengimbanginya, Bone sempat mengajak Wajo dan Soppeng membentuk persekutuan Tellumpocco pada perjanjian Timurung tahun 1582. Akan tetapi, masuknya Islam di Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-16, ditandai dengan masuknya Karaeng Tallo I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng Matoaya serta penguasa Goa I Manga’rangi yang kemudian bergelar Sultan Alauddin, telah merubah peta politik di Sulawesi Selatan. Untuk sementara, kekuatan Bugis Makassar menjadi satu kekuatan baru untuk melawan orang kafir ketika Soppeng dan Sidenreng memeluk Islam tahun 1609, Wajo 1610 dan akhirnya Bone pada tahun 1611.

Perkembangan berikutnya sepanjang abad ke-17, menempatkan Soppeng pada beberapa perubahan keputusan politik ketika persaingan Bone dan Goa semakin menguat. Jauh sebelum perjanjian Timurung yang melahirkan persekutuan Tellumpocco, sebenarnya Soppeng sudah berada di pihak kerajaan Goa dan terikat dengan perjanjian Lamogo antara Goa dan Soppeng. Persekutuan Tellumpocco sendiri lahir atas “restu” Goa. Namun, ketika terjadi gejolak politik antara Bugis dan Makassar disebabkan oleh gerakan yang dipelopori oleh Arung Palakka dari Bone, Soppeng sempat terpecah dua ketika Datu Soppeng, Arung Mampu, dan Arung Bila bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 sementara sebagian besar bangsawan Soppeng yang lain menolak perjanjian di atas rakit di Atappang itu.

***

ITULAH cuplikan kecil sejarah Soppeng di abad 16-17 yang terekam di dalam beberapa literatur penting. Sayangnya, walaupun buku kecil ini memuat subyek sejarah di judul kecilnya, alur fragmen penting sejarah Soppeng, minimal rangkumannya, tidak disentuh sama sekali kecuali kutipan Lontara Soppeng yang menuliskan silsilah raja-raja Soppeng mulai dari La Temmamala ManurungngE ri Sekkannyili yang menjadi raja pertama di sekitar tahun 1300 sampai raja-raja Soppeng berikutnya yang berakhir di tahun 1957 serta beberapa catatan kecil lainnya.

Namun, ada beberapa hal unik yang diceritakan di dalam di buku ini. Sebagaimana sejarah Sulawesi Selatan pada umumnya, proses terbentuknya komunitas masyarakat di Soppeng juga menyerupai daerah-daerah lainnya. Dimulai dari masa sianre balei tauwe sampai masa tomanurung, Lontara Soppeng juga memulai catatannya dengan cara sama, bahwa komunitas “resmi” orang Soppeng adalah ketika Matoa Ujung, Matoa Botto dan Matoa Bila bersama ketua persekutuan lainnya melantik tomanurung sebagai raja.

Menurut kronik ini, daerah Soppeng sebenarnya adalah daerah urban. Penduduk asli yang mendiami daerah ini semula berasal dari dua tempat, Sewo dan Gattareng. Kedua kelompok ini meninggalkan daerahnya masing-masing dan hidup berdampingan di Soppeng, kelompok yang datang dari daerah Sewo disebut orang Soppeng Riaja, dan kelompok yang berasal dari Gattareng disebut orang Soppeng Rilau. Mereka kemudian dipimpin oleh kepala-kepala persekutuan di kedua daerah masing-masing yang jumlahnya enam puluh orang pada waktu itu.

Belakangan, muncul seorang tomanurung di Sekkannyilli (wilayah Soppeng Riaja). Ketua-ketua persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau kemudian sepakat untuk mengangkat tomanurung tersebut sebagai raja. Sayangnya, ManurungngE ri Sekkannyili “menolak” penunjukan tersebut kecuali dengan tiga syarat: tidak dikhianati, tidak disekutukan, dan mengangkat sepupu sekalinya yang juga tomanurung di Libureng (wilayah Soppeng Rilau) sebagai raja di Soppeng Rilau. Dan begitulah, wilayah Soppeng pertama kali dipimpin oleh dua raja “kembar” tomanurung melalui pembagian wilayah kekuasaan. Selanjutnya, setelah kematian kedua raja ini, keturunan merekalah berdua yang silih berganti melanjutkan pemerintahan dengan menggabungkan wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau ke dalam satu wilayah kekuasaan yang kemudian disebut Soppeng saja.

Hal unik lain dalam buku ini adalah pesan-pesan Arung Bila, sosok yang sangat dikenal melalui cerita-cerita rakyat dan di dalam berbagai kronik di Sulawesi Selatan khususnya lontara-lontara di Soppeng. Bahkan, buah pikiran Arung Bila sempat dimuat di dalam buku Dr. B.F. Mathes Boegineshe Christomathie yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1872. Arung Bila diakui sebagai tomaccana to Soppeng (orang pintarnya Soppeng). Pikiran-pikiran Arung Bila telah mewarisi masyarakat Soppeng tata pemerintahan dan tata masyarakat yang beradab.

Namun siapakah Arung Bila yang dimaksud, belum ada yang bisa memastikan karena banyaknya bangsawan yang bernama Arung Bila di dalam sejarah kerajaan Soppeng. Riwayatnyapun tidak ada yang ditulis di dalam lontara. Beberapa sejarawan daerah mengatakan bahwa yang dimaksud Arung Bila di dalam kronik-kronik yang menuliskan ajaran-ajarannya adalah “La Maniaga”, namun ada pula yang mengatakan bahwa “La Taweng” atau “La Wadeng”. Dan membaca ajaran-ajarannya, sepertinya Arung Bila ini juga bukanlah bangsawan Soppeng yang mengambil keputusan politis untuk bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 seperti dalam kutipan di atas.

Namun, lepas dari ketidakjelasan identitasnya, Arung Bila tomaccana to Soppeng sudah menjadi sumber tradisi yang kokoh bagi masyarakat Soppeng maupun masyarakat Sulawesi Barat dan Selatan pada umumnya. Ajaran-ajarannya tentang pangadereng (perihal adat istiadat) bukan hanya menyangkut tata pemerintahan dan hubungan antara raja dan rakyat, tetapi juga hubungan sesama anggota masyarakat, hubungan anak dan orang tua, bahkan hubungan antara suami dan istri.


KALONG
BAU menyengat khas kelelawar atau biasa disebut kalong, langsung menusuk hidung begitu kendaraan memasuki Watansoppeng, ibu kota Kabupaten Soppeng (150 kilometer utara Makassar). Bau ini akan makin menusuk hidung bila berada tepat di bawah pepohonan yang ada di sekitar masjid. Suara ribut dan berisik yang khas dari ribuan kalong nyaris tidak pernah berhenti.
SAAT petang menjelang malam, kalong- kalong ini pun terbang meninggalkan pepohonan tempatnya bersarang dengan suara gemuruh yang lebih ramai. Kadang, saat ribuan kalong ini terbang, langit seperti tertutup bayangan hitam. Pada subuh menjelang pagi, kalong-kalong itu kembali ke sarang mereka dengan suaranya yang tetap ingar-bingar, seakan membangunkan warga sekitar untuk segera memulai aktivitasnya.
Pemandangan seperti ini bukan sesuatu yang baru dan akan terlihat setiap hari di Watansoppeng. Tidak ada penduduk sekitar yang tahu persis kapan tepatnya kalong-kalong ini mulai bersarang di pohon-pohon tersebut. Tetapi masyarakat meyakini keberadaan kalong-kalong ini sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Tak heran, Soppeng akrab dengan sebutan "kota kalong". Bahkan, kalong ini sendiri merupakan pemandangan unik yang sudah menjadi ciri khas Soppeng sejak dulu.
"Usia saya sekarang sudah hampir 80 tahun, dan saat saya kecil, kalong-kalong ini sudah ada di tempatnya yang sekarang. Kata orangtua saya, kalong-kalong ini juga sudah ada sejak mereka kecil," cerita Ny Hj A St Roniah, warga Soppeng yang tinggal di Kecamatan Marioriawa, Soppeng.
Masyarakat Soppeng meyakini betul bahwa kalong itu bukanlah sekadar bersarang begitu saja di jantung Kota Soppeng, tetapi juga sebagai penjaga kota. Atas keyakinan itu, masyarakat pun tak pernah mengusik keberadaan satwa tersebut. Bahkan, masyarakat juga percaya kalong-kalong itu akan menjadi pertanda dan penyampai kabar tentang sesuatu yang baik dan buruk yang akan terjadi di kota mereka.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bila kalong-kalong ini pergi meninggalkan sarangnya dan tidak kembali, berarti akan ada bencana atau kejadian serupa yang akan menimpa masyarakat dan Kota Soppeng. Setidaknya hal seperti sudah terbukti beberapa kali.
"Kalong-kalong ini pun pernah marah. Saat itu sekitar tahun 1990-an, pemerintah menebang sebuah pohon besar untuk lokasi sebuah kantor. Pohon yang ditebang ini diyakini sebagai rumah tinggal pemimpin kalong. Setelah penebangan pohon ini, kalong-kalong itu pergi dan tidak kembali. Tak lama setelah itu, kebakaran besar melanda Soppeng dan menghanguskan hampir seluruh pasar sentral yang tidak jauh dari sarang kalong ini," tutur Salma (32), salah seorang penduduk.
Ditambahkan, butuh waktu lama untuk menunggu hingga kalong-kalong itu mau kembali. Kawanan satwa itu baru mau kembali setelah "dipanggil" melalui sebuah upacara dan pemotongan kerbau. Percaya atau tidak, begitulah yang dituturkan sejumlah warga.
KALONG, dengan bau dan suaranya yang khas, sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak hal menarik yang bisa ditemui saat berkunjung ke Soppeng. Soppeng sendiri sebenarnya bukanlah kabupaten yang terlalu istimewa di Sulawesi Selatan (Sulsel). Tidak besar, tidak kecil, tidak ramai, tetapi juga tidak sepi sekali. Satu hal yang pasti, kota ini punya keunikan dan keindahan tersendiri.
Soppeng berada di pegunungan dan dikelilingi pegunungan. Namun, iklimnya tidak terlalu dingin seperti daerah pegunungan umumnya. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah pegunungan dengan hamparan sawah seperti karpet hijau di bawahnya.
Dari Kota Makassar, perjalanan ke Soppeng dapat ditempuh antara empat hingga lima jam. Kalau tidak punya kendaraan pribadi, bisa memilih kendaraan umum yang berangkat dari Terminal Panaikang Makassar, hampir setiap saat.
Pemandangan menarik sudah dapat dilihat sejak me- masuki daerah perbatasan Kabupaten Barru-Soppeng. Sejak perbatasan kedua daerah ini, kendaraan memang mulai mendaki dan mengitari gunung. Praktis sepanjang jalan yang terlihat hanyalah hamparan pegunungan dan sa- wah nan hijau serta rumah- rumah penduduk nun jauh di bawah.
Perjalanan ke "kota kalong" ini akan melalui.
Mendekati ibu kota Soppeng, Watansoppeng, dan di hampir semua ruas jalan di dalam kota, tampak jalan-jalan yang teduh dengan deretan pohon asam dan pohon lainnya di sisi kiri-kanan jalan.
Di Watansoppeng sendiri, selain menyaksikan kehidupan kalong, kunjungan bisa dimulai dengan melihat-lihat Villa Yuliana, sebuah bangunan bergaya perpaduan Eropa dan Bugis yang dibangun CA Krosen pada tahun 1905. Vila ini merupakan bangunan kembar yang kembarannya berada di Nederland, Belanda.
Berhadapan dengan Villa Yuliana ada kompleks Istana Datu Soppeng yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa pemerintahan Raja Soppeng I Latemmamala yang bergelar Petta BakkaE.
Di dalam kompleks ini terdapat sejumlah bangunan, di antaranya Bola RidiE (rumah kuning), tempat penyimpanan berbagai benda atribut Kerajaan Soppeng. Ada juga SalassaE, yakni bekas Istana Datu Soppeng, dan Menhir Latammapole yang dulunya adalah tempat menjalani hukuman bagi pelanggar adat.
SEBAGAI salah satu bekas kerajaan di Sulsel, sejumlah bangunan dan makam bersejarah lainnya dapat dijumpai di Soppeng. Ini di antaranya Makam Jera LompoE, yakni makam raja-raja/Datu Soppeng, Luwu, dan Sidenreng pada abad XVII yang terletak di Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata (satu kilometer utara Watansoppeng). Dari bentuknya, makam ini merupakan perpaduan pengaruh Hindu dan Islam. Masih ada lagi kompleks makam lain, di antaranya Makam KalokoE Watu di mana terdapat We Tenri Sui, ibu kandung Arung Palakka.
Melanjutkan perjalanan ke arah utara Watansoppeng (12 kilometer), kita akan sampai di pusat persuteraan alam Ta’juncu. Sejak dulu, Ta’juncu sudah terkenal dengan kegiatan persuteraan alam. Dimulai sekitar tahun 1960-an, dan sutera alam Ta’juncu mencapai puncaknya tahun 1970-an.
Selain melihat areal pertanaman murbei, kita juga akan melihat aktivitas persuteraan yang meliputi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, hingga pertenunan yang masih menggunakan alat tenun tradisional. Bagi yang suka mengoleksi sutera, beragam pilihan kain, sarung, hingga baju bodo (baju adat untuk perempuan Bugis/Makassar) dapat dibeli di sini. Soal harga, tentulah miring.
Bila sudah penat berjalan- jalan seharian, kita bisa memulihkan stamina dengan berendam air panas di Pemandian Air Panas Lejja di Kecamatan Marioriawa (44 kilometer utara Watansoppeng). Perjalanan menuju pemandian ini tak kalah indahnya, karena sepanjang perjalanan berjejer rapi pohon-pohon rimbun di kiri kanan jalan serta persawahan dan pegunungan di kejauhan.
Di pemandian alam ini selain terdapat sumber air panas, tersedia tiga kolam besar untuk berendam. Ketiga-tiganya menawarkan pilihan yang berbeda, yakni air panas, sedang, atau yang hangat. Kalau tidak mau bergabung dengan pengunjung lainnya, tinggal memilih tempat berendam VIP yang letaknya agak terpisah dari ketiga kolam pemandian yang ada.
Tersedia lima kolam berukuran kecil yang masing-masing dilengkapi tempat peristirahatan. Lokasi pemandian yang berada di bawah rerimbunan pohon-pohon besar serta suara kicauan burung yang nyaris tiada henti tentu saja membuat acara berendam bertambah asyik.
Selain Lejja, masih ada dua pemandian alam lainnya, yakni Ompo dan Citta. Bedanya, di pemandian ini airnya tidak panas, tetapi sejuk dan sangat jernih. Bahkan, dari kedua sumber air ini pula pengusaha setempat membuat air mineral dalam kemasan.
KALAU sudah puas berendam, perjalanan bisa dilanjutkan untuk melihat-lihat kompleks rumah adat Sao Mario di Kelurahan Manorang, Kecamatan Marioriawa. Di kompleks rumah adat Sao Mario, terdapat rumah adat Bugis, Mandar, dan Toraja. Hampir semua rumah, terutama yang berarsitektur Bugis, bertiang 100. Karena itu, masyarakat sekitar menyebutnya dengan bola seratuE. Selain itu, juga terdapat sebuah rumah lontar yang dinding, lantai, tiang, rangka serta perabotan berbahan baku lontar.
Kendati bukan rumah bersejarah, tetapi rumah-rumah adat di sini berisi penuh dengan barang-barang antik bernilai tinggi. Barang-barang antik dan bersejarah ini sebagian di antaranya adalah barang peninggalan dari beberapa kerajaan di Indonesia. Barang- barang yang dapat dilihat antara lain tempat tidur, perangkat meja dan kursi makan, lemari, ratusan guci, perlengkapan makan raja-raja, ratusan senjata tajam berupa badik, parang, pedang, keris, dan lainnya. Kompleks rumah adat ini juga dilengkapi rumah makan berbentuk perahu pinisi.

0 komentar:

Posting Komentar