:: Sultan Habnoer :: |
Bendi di Takalala, Kabupaten Soppeng. Foto: Sultan Habnoer. Bendi, biasa pula disebut dokar, merupakan salah satu alat transportasi warga di kota Takalala, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng. Alat transportasi ini menjadi angkutan utama warga ke pasar. Selain bebas polusi, kehadiran bendi juga mampu mendikte harga tarif angkutan di kota kecil itu, sebagaimana dilaporkan citizen reporter Sultan Habnoer yang mengunjungi Takalala beberapa waktu lalu.(p!) |
Hari masih gelap, matahari pun belum keluar dari peraduannya. Tetapi, derap langkah kuda yang menarik gerobak terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian subuh. Aneka jenis barang mulai dari sayuran, kain, hingga furniture melaju bersama kereta kuda ini menuju Pasar Sentral Takalala. Begitulah gambaran aktivitas bendi, sebuah moda transportasi lama yang masih bertahan di Takalala hingga hari ini. Meski tradisional, bendi mampu bertahan dalam serbuan berbagai sarana angkutan modern. Kehadiran angkutan jenis pete-pete yang berpenumpang banyak atau ojek motor yang cepat serta gesit mengantar hingga ke tangga rumah penumpang, tidak mampu menggeser bendi sebagai angkutan pilihan. Bendi tetap menjadi sarana angkutan bagi warga Takalala dan sekitarnya. Alat transportasi yang menggunakan tenaga kuda ini umumnya beroperasi pada hari Selasa dan Sabtu. Pasalnya, kedua hari itu merupakan hari pasar di ibukota kecamatan Marioriawa. Bendi di Takalala memang memiliki fungsi utama mengangkut warga ke pasar dan sebaliknya. Bertahannya bendi sebagai sarana angkutan tidak lepas dari kedekatan warga dengan angkutan tradisional ini. Antara bendi dan warga telah terjalin kedekatan batin. “Menyameng metto sedding ku tomabbindi’,” kata Hj. Ruga, salah seorang warga Kelurahan TettikenraraE, mengenai ‘asyiknya’ naik bendi. Menurut pensiunan guru ini, ada rasa kedekatan antarsesama warga yang tercipta ketika berada di bendi dan itu tidak ditemukan di pete-pete apalagi ojek. Gerobak yang kecil, duduk saling berhimpitan dilengkapi cerita kehidupan sehari-hari, suasana itulah yang membawa kedekatan antarwarga. Secara umum warga di Takalala, Labessi dan sekitarnya memang lebih memilih bendi ketimbang alat angkutan lainnya. Ini dapat terlihat dari ramainya penumpang yang hilir mudik dengan bendi di hari pasar. Di jalur yang sama, ojek atau pete-pete bisa kosong penumpang, tetapi tidak dengan bendi. Di hari pasar, tampak begitu banyak bendi, dengan berbagai jenis barang yang diangkutnya. Gula merah, kemiri, sayuran, minyak tanah hingga furniture merupakan beberapa contoh. Aktivitas bendi dimulai selepas salat subuh. Pagi-pagi sekali, di kala sebagian warga masih terbaring di tempat tidur, bendi-bendi ini mulai melaju mengantarkan berbagai barang jualan. Ketika matahari mulai bersinar dan barang-barang itu telah terangkut, bendi-bendi ini kemudian beralih mengangkut penumpang yang hendak ke pasar. Dengan kendali seorang kusir, bendi mampu mengangkut maksimal lima penumpang. Empat penumpang duduk di belakang kusir. Mereka duduk berdua-dua di kursi memanjang yang saling berhadapan. Satu penumpang lainnya duduk menghadap ke depan di samping kusir. Rute yang dilalui berkisar satu hingga tiga kilometer. Dengan jarak seperti itu, penumpang hanya dikenakan biaya seribu rupiah. Barang bawaan tidak dikenakan tarif, selama tidak menempati tempat duduk. Tarif yang murah untuk ukuran saat ini. Hamid, salah seorang kusir bendi, menuturkan bahwa di hari pasar dia bisa mengangkut 30 hingga 50 penumpang. Dengan demikian, penghasilan bersih yang bisa didapatkan berkisar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. Seperti kusir lainnya, Hamid menjalankan bendi dua kali seminggu. Hari-hari lainnya digunakan untuk berkebun dan beternak sapi. Selain itu, dia harus pula menyisihkan waktu untuk mencari rumput, ‘bahan bakar’ bendinya. Biaya operasioanl bendi sangatlah kecil. Paling-paling hanya untuk menambal ban jika bocor, mengganti sepatu kuda, atau mengganti ban. Itupun sangat jarang dilakukan. Bahan bakar tidak ada sama sekali. Untuk terus melaju dengan kencang, kuda-kuda itu hanya membutuhkan service berupa rumput dan dedak. Inilah makanan favorit kuda. Dengan makanan yang terjamin, kuda-kuda ini akan tetap kuat untuk melaju membawa penumpang. Untuk menjaga kebugaran, setiap hari sebelum dan sesudah beroperasi kuda-kuda itu dimandikan. Tapi antara angkutan bendi dan ojek motor, rupanya ada ‘perang tarif’. Beberapa waktu lalu, ojek menaikkan tarif dari seribu menjadi dua ribu rupiah. Namun, tarif yang lebih tinggi itu membuat ojek motor tak mampu mendapatkan penumpang. Akhirnya, untuk bersaing mendapatkan penumpang, ojek-ojek ini kemudian menurunkan tarif menjadi seribu rupiah, sama dengan tarif bendi. Lucunya, tarif itu hanya berlaku pada hari Selasa dan Sabtu ketika bendi beroperasi. Di hari-hari lainnya, tarif ojek tetap dua ribu rupiah. Jadilah, Takalala memiliki dua tarif angkutan ojek motor, yang ditentukan oleh kehadiran bendi. Bendi-bendi ini pun beroperasi secara tradisional. Bendi tidak dikendalikan organisasi operasional tertentu seperti para pengojek. Jumlahnya cukup banyak, namun data pastinya sulit ditemukan. “Pokokna maega (pokoknya banyak)”, demikian komentar Suki salah seorang kusir ketika ditanya berapa jumlah bendi di Takalala. Ketika penulis menyodorkan angka 70 buah, Suki sangat yakin jika jumlah bendi melebihi angka itu. “Ai..de’ napittupulo mi, lebbi (Bukan hanya 70 buah, lebih dari itu),” katanya. Lebih jauh, Suki bercerita tentang kesulitan mendata jumlah bendi. Bendi-bendi ini datang dan pergi. Setiap saat jumlahnya bisa bertambah ataupun berkurang. Siapa saja yang memiliki kuda dan gerobak bisa mengoperasikan bendi. Di masa bercocok tanam dan panen jumlah bendi berkurang. Kuda itu beralih fungsi untuk membajak sawah atau menjadi kuda beban mengangkat padi di musim panen. Bendi-bendi di Takalala umumnya dimiliki warga yang berprofesi sebagai petani. Berbeda dengan angkutan kota maupun ojek motor yang banyak dimiliki oleh pengusaha berduit. Namun, untuk memulai usaha bendi, juga tidaklah mudah. Modal jutaan rupiah pun harus dipersiapkan untuk membeli kuda dan gerobak. Satu ekor kuda biasanya dihargai enam juta hingga sembilan juta rupiah. Tetapi, karena kuda ini biasanya diternakkan oleh warga, jadilah modal yang begitu besar menjadi tak terasa. Bebas polusi Bendi tentu saja bebas polusi. Satu-satunya ‘potensi polusi’ yang bisa muncul adalah kotoran kuda yang bisa dibuang setiap saat. Namun, masalah ini telah disadari oleh para kusir dengan memasangi penadah kotoran kuda di bagian belakang. Dengan demikian, kotoran kuda tidak akan tercecer ke mana-mana, apalagi di jalanan. Bendi dapat juga menjadi daya tarik bagi warga yang merantau (passompe) ke berbagai kota. Ketika mudik, mereka biasanya menyempatkan diri untuk menggunakan bendi. Khususnya, bagi anak-anak perantau, yang besar di kota. Hamid, seorang kusir senior, menuturkan bahwa di musim lebaran, seringkali bendinya disewa oleh perantau untuk sekadar jalan-jalan menikmati suasana kampung. Dia menceritakan seorang passompe dari Jakarta pernah menyewa bendinya Rp20 ribu untuk membawa anak-anaknya berkeliling. Bahkan ada pula yang menyewa bendi untuk keperluan bersilaturrahmi (massiara) atau untuk keperluan ziarah kubur. Di masa lalu, bendi banyak pula ditemukan di Kota Watansoppeng, ibukota kabupaten. Hingga akhir tahun 1990-an, bendi masih banyak digunakan sebagai sarana angkutan di Kota Kalong ini. Anak sekolahan termasuk yang paling menikmati jenis angkutan ini, utamanya bagi mereka yang bersekolah di SMAN 1 Watan Soppeng dan SMA PGRI. Bendi melayani rute Jalan Kesatria, Jalan Merdeka, Bila Selatan hingga Bila Utara. Saya teringat, kala itu bendi menjadi penanda status sosial dan ekonomi keluarga. Sangat mudah ditebak, mereka yang menggunakan bendi ke sekolah adalah dari keluarga berada. Tarif yang dikenakan Rp100 hingga Rp200 sekali jalan. Meski sederhana, bendi menjadi transportasi elit. Anak-anak sekolah yang datang dari kampung dengan ekonomi pas-pasan biasanya berjalan kaki di bawah panasnya terik matahari menyusuri Jalan Kesatria dan Jalan Wijaya menuju terminal yang berada di Pusat Pertokoan. Kini, perlahan-perlahan jumlah bendi semakin berkurang. Perannya digantikan ojek motor yang ada di setiap sudut kota. Jumlah bendi yang beroperasi tinggal sehitungan jari. Tidak tertutup kemungkinan, bendi Kota Kalong akan segera berlalu dan tinggal kenangan.(p!) *Citizen reporter Sultan Habnoer dapat dihubungi melalui email sultan_soroako@yahoo.co.id |
Jumat, 24 September 2010
Di Takalala, Bendi 'Mendikte' Tarif Ojek Motor
Diposting oleh
sambungbaitq
di
03.18
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label:
Soppeng
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar