Jumat, 24 September 2010

MAPPADENDANG di SOPPENG






Salah satu tradisi kebudayaan bugis yang cenderung termarginalkan adalah Mappadendang. Ritual Mappadendang ini adalah acara yang dilakukan setelah panen padi sebagai tanda ucapan syukur kepada Allah SWT atas limpahan karunia yang diberikan berupa hasil panen padi yang berlimpah. Awalnya acara ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Dewi Sri (Dewi Padi)

Watan Soppeng adalah salah satu kota kabupaten tercantik di Provinsi Sulawesi Selatan. Suasana di dalam kota tampak teduh, karena hampir semua ruas jalan dipenuhi oleh pohon asam dan jenis pohon lainnya yang berjejer di sisi kiri dan kanan jalan. Kota kecil dan berhawa sejuk ini berada di pegunungan dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut.

Menurut catatan sejarah, sebagaimana tertulis dalam Lontara Bugis (tulisan kuno orang Bugis), Kota Soppeng merupakan bekas kota kerajaan masa lampau yang memiliki wilayah kekuasaan dan pengaruh yang cukup luas. Di kota ini terdapat komplek Istana Raja (Datu) Soppeng yang dibangun oleh I Latemmamala yang bergelar Petta Bakkae pada tahun 1261 M. Di dalam komplek tersebut terdapat sejumlah bangunan, di antaranya: Bola RidiE (Rumah Kuning), yaitu tempat penyimpanan benda-benda atribut Kerajaan Soppeng; SalassaE, yaitu bekas Istana Datu Soppeng; dan Menhir Latammapole, yaitu tempat melaksanakan hukuman bagi para pelanggar adat. Di kota ini juga terdapat komplek makam Jera LompoE dan KalokoE Watu. Di dalam komplek makam Jera LompoE terdapat makam Raja-raja (Datu) Soppeng, Luwu dan Sidrap pada abad XVII. Sementara di dalam komplek KalokoE Watu terdapat makam We Tenri Sui, ibu kandung Arung Palakka.

Kota Watansoppeng memiliki keunikan yang sangat mengagumkan, sehingga ia dijuluki sebagai “Kota Kalong” atau “Kota Pekalongan” (bukan nama kota yang ada di Pulau Jawa).

Pengunjung jangan terkejut ketika memasuki jantung Kota Watansoppeng, karena akan mencium bau khas yang sangat menyengat hidung. Bau khas itu tidak lain adalah bau kalong atau kelelawar. Bau kalong tersebut akan semakin menyengat jika pengunjung berada tepat di bawah pohon tempat para kalong tersebut bergelantungan.

Menjelang malam, kalong-kalong tersebut terbang meninggalkan pepohonan untuk mencari makan. Saat kalong-kalong yang jumlahnya ribuan tersebut terbang, langit seakan tertutup oleh bayangan hitam. Kawanan kalong tersebut akan kembali ke pepohonan pada subuh hari dengan suara gemuruh seakan membangunkan warga Kota Soppeng untuk segera melaksanakan shalat subuh dan melakukan aktivitas sehari-hari.

Tidak seorang pun penduduk yang tahu persis kapan tepatnya kalong-kalong tersebut mulai bersarang di atas pepohonan yang berjejer di ruas-ruas jalan Kota Watan Soppeng. Masyarakat hanya meyakini bahwa keberadaan kalong yang mirip tikus tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Lebih dari itu, mereka juga meyakini bahwa kalong-kalong tersebut merupakan “penjaga” kota Watan Soppeng. Bahkan, mereka sangat percaya bahwa kalong-kalong tersebut menjadi pertanda dan pemberi informasi tentang sesuatu yang baik dan buruk yang akan terjadi di kota ini. Jika kalong-kalong tersebut pergi meninggalkan Kota Watan Soppeng dalam waktu yang lama, maka itu sebagai pertanda bahwa akan terjadi bencana yang menimpa masyarakat dan kota tersebut.

Trik Terbang Kelelawar Yang Unik




Kelelawar masih tetap unggul dalam memanfaatkan trik aerodinamika, sedikit unik dibanding serangga lainnya, kata para peneliti.
Ketika kelelawar terbang, mereka memanfaatkan aliran angin.






Para peneliti menemukan pusaran angin kecil diatas masing-masing sayapnya, yang disebut pengarah ujung pusaran, yang menyediakan sebanyak 40 % kebutuhan daya angkat tubuhnya agar tetap diudara.

“Tidak diketahui apakah binatang bertulang belakang dapat melakukan hal yang sama,” Anders Hedenstrom, seorang pakar biologi dari University of Lund, Swedia, yang memimpin studi ini mengatakan dalam wawancara melalui telepon. “Sekarang kami telah menemukan kelelawar menggunakan mekanisme yang serupa.”

Bentuk sayap pesawat dan burung menghasilkan daya angkat dengan memanfaatkan aliran udara yang lebih berkesinambungan, kata Hedenstrom. Kelelawar memperoleh keuntungan tambahan daya angkat yang ditimbulkan oleh kepakan kebawah sayapnya yang memungkinkan tubuhnya mengambang dan terbang lebih gesit.

Para peneliti mengisi saluran angin dengan asap aerosol untuk membantu mengambil gambar ketika kelelawar terbang kearah sebuah tabung yang berisi cairan madu, kemudian menganalisanya melalui komputer.

Ketika kelelawar terbang mengambang, mereka menciptakan pusaran angin diatas masing-masing sayapnya.

“Inilah mekanisme dibalik daya angkat tinggi selama terbang mengambang,” kata Hedenstrom

Penemuan ini dipublikasikan dalam jurnal Science, memberikan pengertian praktis. Ambil contoh para Insinyur, dapat menggunakan pengetahuan ini ketika mengembangkan wahana udara mikro, Hedenstrom menambahkan.

Seperti mesin-mesin robot, yang berpotensi digunakan dalam tujuan pengawasan, mungkin dapat terbang di dalam dan di luar gedung serta area tertutup, hal ini dikarenakan kepakan sayapnya memungkinkan berbelok tajam dan mengambang, tambahnya.

“Untuk membuatnya benar-benar bekerja, ini merupakan sebuah informasi penting, karena ini memperlihatkan bagaimana kita mengendalikan struktur sayap selama kepakan sayap,” kata Hedenstrom. “Dengan sayap yang kaku mereka tidak dapat berbelok sedikitpun.”

TIPUAN KAMERA - KELELAWAR RAKSASA

Wow, Kelelawar Raksasa

Pernah lihat kelelawar raksasa?
Wow.. Ini dia ..!!
Gede benar.. hampir sebesar orang dewasa..!!

 
foto ini merupakan hasil Rekayasa, dengan tekhnik photoshop dan beberapa tekhnik lainnya dalam program Microsoft. 

Masakan Dan Manfaat Daging Kelelawar

Hidangan Daging Kelelawar
Berita ekstrim kali ini masih berhubungan dengan daging. Mungkin kemarin berhubungan dengan daging manusia, dan sekarang berhubungan dengan daging kelelawar yang menjadi hidangan special.
Pasti anda tahu dengan binatang ini. Kelelawar adalah golongan mamalia yang dapat terbang, berasal dari ordo Chiroptera dengan kedua kaki depan yang berkembang menjadi sayap. Kelelawar dikenal dengan banyak nama di berbagai propinsi di Indonesia. Paniki, niki atau lawa adalah sebutan gelar kelelawar bagi orang-orang di kawasan timur Indonesia. Orang Sunda menyebutnya lalay, kalong atau kampret. Orang Jawa Tengah menyebutnya lowo, codot, lawa, atau kampret. Sedangkan suku Dayak menyebutnya sebagai hawa, prok, cecadu, kusing atau tayo.
Prilaku atau kebiasaan binatang ini khas, keluar kandang menjelang malam, dan baru kembali saat dini hari. Keberadaan kelelawar ini juga menjadi pertanda buat masyarakat Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pusat kotanya menjadi tempat berkumpulnya mamalia ini.
Beberapa daerah di Indonesia telah ada restoran yang menyajikan hidangan daging kelelawar. Contohnya, seperti di Manado. Pada restoran tersebut, kelelawar dimasak dengan dengan kuah santan (sari kelapa) atau dirica-rica. Menurut beberapa penikmat kuliner ekstrim, daging paniki yang berkuah santan terasa manis dan dagingnya seperti bebek.
Tata cara pengolahan daging kelelawar sama seperti daging lainnya. Pengolahan yang baik membuat daging kelelawar tidak lagi menjadi makanan yang menjijikkan.
Kelelawar yang berwarna cokelat ternyata memiliki aroma seperti buah apel setelah menjadi hidangan. Kuliner daging kelelawar tidak kalah enaknya dengan hidangan makanan menu daging lainnya. Sangat mirip daging kerbau atau kelinci. Daging kelelawar juga banyak memiliki serat.
Bagi masyarakat, mengkonsumsi kelelawar dapat mengobati berbagai penyakit, diperkirakan dapat menyembuhkan penyakit akibat penyempitan pembuluh darah dan penyakit asma.
Dari berbagai sumber berbeda. Pengolahan kalong/kelelawar untuk pengobatan sangat sederhana. Daging kelelawar dibakar kemudian langsung di makan oleh orang yang terkena penyakit. Jangan digoreng karena bercampur dengan minyak khasiatnya berkurang.
Bagaimana dengan Hidangan Daging Kelelawar dan khasiatnya untuk pengobatan?. Jika penasaran langsung saja mencari restoran yang menyajikan. Mudah-mudahan informasi ini bermanfaat untuk anda.

Catatan perjalanan dari Soppeng Ke Sengkang

Waktu sudah beranjak siang nich. Saya sudah menyelesaikan tugas pertama saya di Soppeng : melihat kelelawar. Dengan sangat menyesal saya harus melewatkan Lejja dan Ompo lantaran keterbatasan waktu. Saya harus bergegas ke kota berikutnya yang berjarak 1 jam perjalanan dari Watansoppeng, Sengkang. Dan saya pun kembali ke terminal Soppeng yang sepi. Hampir sama seperti saat kedatangan, hampir tidak banyak keramaian di Terminal Soppeng yang kecil dan sepi ini. Sejumlah peron rute tampak kosong tidak terisi angkutan sama sekali. Sejumlah peron yang terisi kendaraan tidak memiliki supir. Saya segera bergegas menuju ke Kijang jurusan Sengkang yang untungnya sedang menunggu penumpang. Sialnya, penumpang yang ditunggu masih sedikit termasuk saya. Seperti halnya kijang di Sulawesi Selatan, umumnya mereka nggak akan berjalan kalau penumpangnya masih sedikit. Maka, saya pun menunggu di terminal selama kurang lebih setengah jam. Sang supir duduk-duduk santai sambil mengobrol dengan penghuni terminal lain sambil merokok dan ngemil. Ia tampak tidak terburu-buru atau panik melihat angkutannya tidak kunjung terisi penumpang. Hidup harus dinikmati, mungkin filosofinya begitu kali yach? Sambil menunggu, daripada jadi bete sendiri, saya berjalan berkeliling terminal untuk melihat keadaan sekeliling. Ternyata, ada pasar dan kios-kios di bagian belakang Terminal Soppeng loch. Ramai juga tampaknya.
Untungnya, walaupun Terminal Soppeng tampak kecil dan sepi, penumpang yang menuju Sengkang terus saja berdatangan dan sedikit demi sedikit memenuhi kijang. Hmm... mungkin jalur Watansoppeng-Sengkang adalah jalur yang gemuk yach? Sebelumnya, saya telah memplot tempat duduk agar mendapat tempat duduk yang enak di dalam kendaraan. Saya meletakkan barang-barang saya di tempat duduk yang persis di belakang supir. Ini menjadi semacam kebiasaan, bahwa plotting tempat duduk sebaiknya dilakukan saat kendaraan masih kosong. Biar bisa dapat tempat duduk yang enak, sebaiknya pilih tempat dan menunggu lebih lama dulu. Sang supir sempat pergi sambil membawa barang-barang saya untuk menjemput serombongan penumpang. Waduh, saya sempet panik juga, jangan-jangan barang saya dibawa kabur. Habis dech, saya nggak punya baju sama sekali untuk seminggu ke depan. Sang supir sich bilang, nanti ia akan kembali, ia hanya menjemput penumpang saja. Untungnya, supir tersebut menepati janjinya. Hehehe. Ia kembali lagi ke terminal sambil membawa beberapa orang penumpang di dalam kendaraannya. Segera, tanpa membuang waktu lagi, kijang melaju ke timur laut, arah Sengkang. Saya duduk di tempat favorit, posisi belakang supir dengan pemandangan yang terbentang lebar.
Perjalanan ini akan ditempuh dalam waktu satu jam. Sepanjang perjalanan, saya banyak menjumpai areal persawahan yang sangat luas dan hijau (beberapa menguning). Maklum, Soppeng kan dikenal sebagai 6 besar lumbung padi Sulawesi Selatan bersama dengan Bone, Sidenreng Rappang, Wajo, Sengkang, dan Luwu. Jadi, nggak heran kalau kita akan banyak menyaksikan areal persawahan yang sangat luas di 6 kabupaten ini. Agak berbeda dengan perjalanan sebelumnya, rute dari Soppeng ke Sengkang cukup lurus dan datar. Hampir nggak ada liukan berlebihan atau tanjakan dan turunan curam khas pegunungan. Walaupun dikelilingi pegunungan, namun dua kota ini terhubung dalam jalur yang datar. Pemandangan paling umum yang bisa disaksikan adalah sawah dan ruko serta perumahan. Pemandangan yang saya lihat ini mencitrakan kedua kota ini sebagai kota yang cukup modern.
Angkutan antar kota di bagian Sulawesi Selatan area tengah dan timur kebanyakan adalah kijang. Hanya kijanglah yang bisa membawa saya dari Watansoppeng ke Sengkang. Pete-pete tidak cukup jauh untuk bisa membawa saya ke Sengkang. Pete-pete hanya bisa membawa saya sampai tepi batas Soppeng saja. Kijang yang saya gunakan adalah kijang hampir terakhir untuk hari itu. Kemungkinan, sekitar jam 3 atau jam 4 nanti sore ada satu kijang terakhir yang membawa penumpang dari Watansoppeng ke Sengkang. Pada saat malam, tidak ada lagi angkutan kijang di rute ini. Angkutan kijang terbanyak bisa ditemukan pada pagi hari. Menjelang siang hari, angkutan mulai menguap dan hanya tersisa segelintir saja.

Foto Manusia Memberi Makanan Ke Kelelawar







Kelelawar adalah mamalia yang dapat terbang yang berasal dari ordo Chiroptera dengan kedua kaki depan yang berkembang menjadi sayap.

Klasifikasi
* Pteropodidae (kalong)
* Emballonuridae (Kelelawar ekor-trubus)
* Megadermatidae (Vampir palsu)
* Nycteridae (Kelelawar muka-cekung)
* Rhinolophidae (Kelelawar-ladam)
* Hipposideridae (Barong)
* Vespertilionidae (Kelelawar biasa)
* Molossidae (Kelelawar bibir-keriput

Kelelawar Doyan Oral Sex

Peneliti biologi dari Guangdong Entomological Institute di China mengungkapkan dua dari tiga kelelawar betina sering melakukan oral seks dalam setiap aktivitas seksualnya.

Kelelawar Doyan Oral Sex


Namun, binatang malam dengan nama latin Cynopterus sphinx itu, sebenarnya bukanlah satu-satunya hewan yang selalu melakukan oral seks. Sebelumnya, diketahui simpanse juga termasuk binatang yang selalu melakukan oral seks.

Oral seks merupakan aktivitas-aktivitas seksual yang mencakup penggunaan mulut dan lidah untuk merangsang genitalia. Biasanya, seks oral dilakukan sebagai pembukaan atau foreplay sebelum bersetubuh (coitus).

Seks oral mencakup memberi atau menerima stimulasi oral (seperti menghisap atau menjilat) genitalia.

“Kelelawar betina sangat bergairah dalam melakukan oral seks, hampir 70 persen kelelawar betina melakukannya sebelum melakukan hubungan,” ujar seorang peneliti, Libiao Zhang seperti dilansir Telegraph, Rabu (11/11/2009).

Libiao mengungkapkan, kelelawar betina menginginkan hubungan seks yang lama sehingga melakukan oral seks terlebih dahulu. Rata-rata aktivitas oral seks dilakukan selama empat menit sebelum melakukan hubungan seks.

Pohon Berbuah Kelelawar di Soppeng


Pohon Kelelawar
Satu hal yang menarik hati saya ketika berkunjung di kota Soppeng – Sulawesi Selatan adalah pohon-pohon di sekitar masjid agung yang banyak digelayuti kelelawar. Sepintas, warna kelelawar yang hitam nampak kontras dengan dedaunan pohon yang hijau dan memberi kesan “pohon berbuah kelelawar”.

Masjid Soppeng
Berpose dulu di depan Masjid Agung Soppeng. "Pohon Kelelawar" terdapat di sekitar masjid ini.
Kelelawar nampak lebih dekat.
Kelelawar nampak lebih dekat.

KALONG RI BUMI BATARA MARIO


SOPPENG.Adalah salah satu daerah dati dua di provinsi sulawesi selatan, yang memiliki potensi wisata keindahan panorama alam pegunungan, serta berbagai macam situs purba kala yang masih tetap dilestarikan higga kini.

Berada pada dataran tinggi, kabupaten soppeng tentunya dikelilingi dengan pegunungan yang memancarkan keindahan panorama alam, yang sebagian besar adalah gunung bebatuan cadas, dimana terdapat goa-goa bersejarah.

Konon kabarnya goa-goa yang tersebar disekitar pegunungan diwilayah kabupaten soppeng, dulunya digunakan nenek moyang mereka sebagai tempat peristerahatan, yang kemudian dilanjutkan generasi penerusnya, sebagai tempat persebunyian dari kejaran musuh.

Seiring dengan berjalanya waktu, memasuki zaman yang lebih moderen, goa-goa ini kemudian berubah fungís menjadi lokasi objek wisata. Yang sering ramai dikunjungi wisatawan

Selain wisata gua, juga terdapat wisata cagar budaya yaitu permandian lejja, dan permandian ompo, serta objek wisata citta.

Selain objek wisata permandian air panas, juga terdapat fosil gajah, serta fosil kura-kura berukuran besar, dimana kedua fosil ini tersimpan di musium celio, yang lokasinya berada di tengah-tengah kota soppeng.

Konon kabarnya orang pendahulu atau moyang suku bugis penduduk asli soppeng, menjadikan salah satu lokasi, sebagai tempat beriteraksi dengan penguasa langit dan bumi berdasarkan keyakinan yang dianut pada zamanya.

Lokasi ini bernama situs tinco, dimana situs tinco tersebut adalah batu berukuran besar yang dijadikan sebagai media penyembahan, namun saat ini lokasi tinco telah dijadikan sebagai lokasi objek wisata situs purba yang dilindungi.

Dataran kota soppeng yang terletak diketinggian, tidak hanya didukung dengan objek wisata alam dan berbagai macam objek cagar budaya, namun kita juga dapat melihat langsung dari dekat ribuan kelelawar bergantungan di pepohonan yang tersebar di dalam kota pada siang hari.

Bagi masyarakat soppeng, kelelawar atau bahasa soppengnya yaitu kalong, dibiarkan bergelantungan memenuhi ranting di hampir semua pohon besar yang tumbuh di dalam kota.

Kalong atau kelelawar ini diyakini oleh sebagian masyarakat soppeng, sebagai hewan penjaga yang dapat membawa kesuburan, serta menjauhkan daerah mereka dari bala bencana, dimana jika kelelawar pergi meningglkan kampung, bertanda akan terjadi petaka.


Salah satu objek wisata alam pegungungan yang Sangat indah dan cukup dikenal oleh warga sulawesi selatan, adalah objek wisata pegunungan bulu dua, atau dua gunung "gunung kembar", yang berada di daerah perbatasan antara kabupaten barru.

Kata Bulu dua diambil dari bahasa bugis, yang artinya: dua gunung “gunung kembar”, dimana kedua gunung ini, jika dilihat secara pintas, maka bentuknya menyerupai bagian dada wanita.


Untuk berkunjung ke kabupaten soppeng, yang letaknya berada pada bagian utara pusat kota Makassar, dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat sikitar empat jam perjalanan.

obyek wisata di Soppeng



Icon Kota Soppeng
Kota Soppeng disebut Kota Kalong Wattang Soppeng dimana-mana ditemukan kalong atau kelelawar, Soppeng juga sebagai kota wisata dapat ditemukan beberapa Obyek bersejarah (Villa Yuliana, Istana Datu Soppeng, Makam Jera Lompoe) , Budaya (Rumah Adat Sao Mario, Pusat Sutra Alam Tajuncu) ,  permandian alam (Air panas Lejja, Ompo, Citta).
Ciri khas Pusat Kota Soppeng yaitu terdengar bunyi gemuruh kalong-kalong/ kelelawar saat  petang menjelang malam, beterbangan menutupi langit Kota Soppeng meninggalkan sarangnya di pepohonan tengah kota dan Pada subuh menjelang pagi, kalong-kalong itu pun kembali ke sarangnya dengan suaranya yang tetap ingar-bingar, seakan membangunkan warga sekitar untuk segera memulai aktivitasnya..

Villa Yuliana, sebuah bangunan bergaya perpaduan Eropa dan Bugis yang dibangun CA Krosen pada tahun 1905. Vila ini merupakan bangunan kembar yang kembarannya berada di Nederland, Belanda.

Istana Datu Soppeng yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa pemerintahan Raja Soppeng I Latemmamala yang bergelar Petta BakkaE. Di dalam kompleks ini terdapat sejumlah bangunan, di antaranya Bola RidiE (rumah kuning), tempat penyimpanan berbagai benda atribut Kerajaan Soppeng, Istana SalassaE, yakni bekas Istana Datu Soppeng, dan Menhir Latammapole yang dulunya adalah tempat menjalani hukuman bagi pelanggar adat.

Makam Jera LompoE, yakni makam raja-raja/Datu Soppeng, Luwu, dan Sidenreng pada abad XVII yang terletak di Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata (satu kilometer utara Watansoppeng). Dari bentuknya, makam ini merupakan perpaduan pengaruh Hindu dan Islam. dan Makam KalokoE Watu di mana terdapat We Tenri Sui, ibu kandung Arung Palakka.
Pusat Suteraan Alam Ta’juncu. Sejak dulu, Ta’juncu sudah terkenal dengan kegiatan persuteraan alam. Dimulai sekitar tahun 1960-an, dan sutera alam Ta’juncu mencapai puncaknya tahun 1970-an. Selain melihat areal pertanaman murbei, kita juga akan melihat aktivitas persuteraan yang meliputi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, hingga pertenunan yang masih menggunakan alat tenun tradisional.

Pemandian Alam Air Panas Lejja di Kecamatan Marioriawa (44 kilometer utara Watansoppeng). Perjalanan menuju pemandian ini sangat indah , sepanjang perjalanan berjejer rapi pohon-pohon rimbun di kiri kanan jalan serta persawahan dan pegunungan di kejauhan. Di pemandian alam ini selain terdapat sumber air panas, tersedia tiga kolam besar untuk berendam. Ketiga-tiganya menawarkan pilihan yang berbeda, yakni air panas, sedang, atau yang hangat.
Lokasi pemandian berada di bawah rerimbunan pohon-pohon besar yang disertai suara kicauan burung yang nyaris tiada henti.

Permandian Alam Ompo dan Permandian Alam Citta. disuplai dari air pegunungan yang sangat sejuk dan sangat jernih. dari kedua sumber air ini dapat dibuat air mineral dalam kemasan.

Rumah adat Sao Mario di Kelurahan Manorang, Kecamatan Marioriawa adalah rumah perpaduan dari tradisi Buginese (Batu-Batu Soppeng) dan Minangsih (Minangkabau). disekitarnya ada miniatur rumah adat Bugis, Mandar, dan Toraja. Hampir semua rumah, terutama yang berarsitektur Bugis, bertiang 100. Karena itu, masyarakat sekitar menyebutnya dengan bola seratuE. Terdapat sebuah rumah lontar yang dinding, lantai, tiang, rangka serta perabotan berbahan baku lontar.
Rumah-rumah adat di sini berisi penuh dengan barang-barang antik bernilai tinggi peninggalan dari beberapa kerajaan di Indonesia. antara lain tempat tidur, perangkat meja dan kursi makan, lemari, ratusan guci, perlengkapan makan raja-raja, berbagai senjata tajam berupa badik, parang, pedang, keris, dan lainnya. Kompleks rumah adat ini juga dilengkapi rumah makan berbentuk perahu pinisi

Watansoppeng, Kota Kelelawar Di Indonesia



Sebenarnya, ada apa sich yang spesial di Soppeng sampai saya harus mengejarnya? Soppeng yang beribukota di Watansoppeng adalah salah satu kabupaten yang terletak di tengah-tengah Sulawesi Selatan dan tidak dilintasi Jalan Trans-Sulawesi. Bersama dengan Bone dan Wajo, Soppeng terkenal akan hasil semennya, Semen Bosowa. Maklum, wilayah ini berada di jalur perbukitan karst yang membentang di bagian selatan hingga ke tengah propinsi ini. Di bagian selatan, Maros dan Pangkajene sudah terkenal terlebih dahulu dengan Semen Tonasanya. Kembali ke Soppeng, salah satu ciri khas yang paling menjadikan Soppeng terkenal ialah kelelawarnya. Ya, ribuan kelelawar hidup bergantungan terbalik di pohon-pohon besar di tengah-tengah kota. Pemandangan seperti ini belum tentu anda dapatkan di wilayah pinggiran Soppeng. Namun demikian, pemandangan ini menjadi biasa ketika anda mencapai Kota Watansoppeng, ibukota Kabupaten Soppeng. Kelelawar ini terkadang sesekali terbang melintasi birunya langit Soppeng. Mereka baru mulai beterbangan secara masal pada sore menjelang malam hari untuk mencari makan. Kelelawar ini konon hanya mencari makan di luar wilayah Soppeng. Mereka tidak pernah mengambil buah-buahan milik warga Soppeng sendiri. Konon katanya lagi, kalau sampai kelelawar ini mengambil makanan dari tanah Soppeng sendiri, maka Soppeng akan hancur. Begitu kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Soppeng sendiri dikenal sebagai lumbungnya orang-orang pintar di negeri ini loch. Beberapa ahli dan para cendekia di Indonesia, banyak yang berasal dari Soppeng.
Soppeng memang belum seterkenal Makassar, atau Tana Toraja dalam urusan pariwisata. Masih banyak yang perlu dikembangkan di tempat ini. Terlebih lagi, posisinya yang tidak dilintasi jalan Trans-Sulawesi yang membentang menghubungkan Makassar hingga Manado, membuat Soppeng lebih sepi dibanding kabupaten lain. Untuk mencapai kabupaten ini, anda memang harus mengeluarkan usaha ekstra. Belum ada bus-bus besar yang melintas Trans-Sulawesi yang melintasi tempat ini. Angkutan antar kota yang paling bisa diandalkan dari dan menuju Soppeng adalah kijang. Soppeng terhubung dengan baik dengan Makassar, Bone, Sengkang, Barru dan Pangkajene. Untuk rute menengah maupun pendek, anda bisa menggunakan pete-pete yang banyak hilir mudik di seputaran kota. Beberapa objek wisata yang wajib kunjung dan cukup sering dimasukkan dalam rute perjalanan turis adalah Mata Air Panas Lejja yang terletak 20 KM dari Kota Watansoppeng, di kaki gunung. Dengan hawa sejuk, berendam air panas dengan khasiat belerang pastinya menyenangkan. Selain mata air panas, ada pula mata air dingin Ompo yang hanya berjarak 3 KM dari Watansoppeng. Anda perlu memasukkan Soppeng dalam daftar rute perjalanan anda di Sulawesi Selatan, khusus bagi anda yang berjiwa petualang.

Kilas Balik: Cuplikan Peristiwa di Watan Soppeng pada Tahun 1950-an

Catatan Redaksi: Berikut adalah tulisan tentang salah seorang sosok sesepuh Soppeng, H. A. Abdullah Gany seperti yang dituturkan oleh Putra Keduanya, yang juga menggambarkan sekelumit sejarah Soppeng di masa lalu. Kami juga menerima tulisan serupa untuk dimuat di situs ini yang tentu akan menjadi kumpulan catatan sejarah berharga tentang kota kita tercinta. (Red)


Ikhwal kota Watan Soppeng yang saya angkat pada artikel kali ini adalah sekelumit kilas balik cuplikan keadaan kota Watan Soppeng di tahun 1950-an yang diilustrasikan melalui kisah nyata pengalaman ayah yang saya ketahui dan saksikan di masa kanak-kanak, di mana beliau (dalam status sebagai petugas polisi negara) di tangkap di rumah kediaman kami di tengah malam buta, lalu dimasukkan dalam tahanan militer dan nyaris dihabisi riwayatnya oleh penguasa militer, dengan tuduhan bahwa beliau sebagai petugas polisi telah memihak/mendukung gerombolan bersenjata yang menamakan dirinya DI/TII pada waktu itu (tahun 1950-an). Beliau sempat disiksa secara fisik melalu berbagai interogasi, dan orang-orang yang ditahan bersamaan waktunya dengan beliau, rata-rata sudah dihabisi satu persatu berturut turut setelah mengalami siksaan di tahanan. Dalam suasana operasi militer pada waktu itu, hanya kekuasaan Tuhanlah yang menyelamatkan beliau dari prahara politik, meskipun beberapa giginya sempat copot karena diterpa bertubi-tubi dengan siksaan, pukulan, tamparan atau pokrol senapan oleh petugas penginterogasi.
Ayah saya adalah anggota polisi negara yang hanya jebolan sekolah guru lima tahun Boemi Poetra (tahun 1930-an), di Watan Soppeng Sulawesi Selatan, yang kemudian mengawali kariernya menjadi juru tulis pembantu pelaksana tata usaha di kantor Desa Lalabata, Swapraja Soppeng. Beliau kemudian ditugaskan sebagai mantri polisi, pada Daerah Swapraja Soppeng. Dan terakhir, beliau berhasil diangkat menjadi Polisi Negara R.I. setelah Polisi Swapraja dibubarkan, dan bertahan sampai beliau pensiun dalam tugas ini.
Sepanjang pengetahuan saya sebagai anaknya yang ke dua saya mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak pernah mau tahu tentang kegiatan politik, apalagi terlibat pada kegiatan makar atau kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan pemerintah. Beliau adalah petugas pemerintah yang benar-benar professional, yang sangat taat kepada ketentuan yang berlaku.
~~~
Kesyahduan Dusun Buccello Terusik
Di suatu pagi yang dingin berkabut (sekitar tahun 1952-an, di Dusun Bucceloo Bila Selatan, Soppeng) saya yang baru duduk di kelas dua sekolah Rakyat, merasa sangat curiga dengan “kekosongan” ruang duduk keluarga di depan dapur, yang biasanya pada saat saya bangun pagi, saya selalu mendapati ayah saya berkemul dengan sarung tidurnya (yang terbuat dari dua helai sarung batik dijahit menjadi satu supaya cukup panjang menutupi sekujur badannya yang jangkung) bersandar di tiang tengah, mengisap rokok klintingan (Tokka CabbengngE), sambil meneguk kopi kental kesukaannya. Pada saat seperti itu, saya bersama kakak, pasti sudah nimbrung duduk di sana menikmati teh seduhan Goalpara, sambil berselonjor menumpukan kedua kaki pada sarung yang tetap kami pakai untuk menahan dinginnya udara “Soppeng” di waktu itu. Biasanya ayahanda dan ibunda mempergunakan kesempatan itu untuk berbincang-bincang sambil bercengkerama dengan kami, menikmati pisang goreng atau rebusan ubi kayu atau jagung, terkadang ubi atau kacang rebus.
Kecurigaan saya semakin menjadi-jadi sewaktu sayup-sayup saya mendengar isak pilu ibunda di ruang depan yang dikerumuni oleh beberapa tantenya (uak: Bugis) yang berdatangan ke rumah menjelang fajar. Sayup-sayup saya dengar beberapa uaknya mengatakan: “Sabar Emma Radi (panggilan mereka kepada ibundaku), ini adalah cobaan Tuhan”. Beberapa saat, sambil mengendap-endap saya mendengar suara ibunda lirih, sedikit berbisik menjawab: “tapi jangan dulu disampaikan kepada anak-anak, uak Aji! Nanti mereka kaget”.
Justru mendengar hal tersebut, rasa ingin tahu saya mendadak menjadi meluap-luap, saya tidak sabar lagi mengendap-endap menguping pembicaraan mereka, malahan langsung menghampiri mereka ke ruang depan sambil bertanya dengan menangis, ada apa? Kok saya tidak boleh diberitahu? Mereka langsung membujuk saya dengan suasana laksana berkabung: “Sabar nak, jangan menangis, Pueng (panggilan kami kepada ayah) tengah malam tadi dijemput beberapa orang tentara bersenjata), ini cobaan Tuhan, doakan saja supaya Pueng tidak apa-apa. Suara tangis saya malah semakin tak-tertahankan lagi. Saya memeluk leher ibu erat-erat sambil menangis sejadi-jadinya, membuat tetangga pada kaget berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Foto lokasi rumah tahanan penguasa militer tempat ayah saya ditahan. Gambar inset adalah foto ayah (H. A.A Gany) dalam seragam polisi di tahun 1960-an. (Foto Nostalgia Hafied Gany, Juli 2009,)
Para tetangga yang berdatangan sontak menjadi murung laksana berkabung, dan hanya bisa terdiam seribu bahasa mengetahui bahwa ayah saya dibawa tentara malam-malam. Mereka pasti membayangkan bahwa pada waktu itu (keadaan darurat militer – SOB yang sering kami dengar atau singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg, yang terus terang saya sendiri tidak tahu artinya) kalau ada orang yang dijemput malam-malam oleh penguasa militer, jarang yang kembali, bahkan kebanyakan hilang begitu saja tanpa ada kabar beritanya. Bayangan itulah yang menghantui mereka semua dan saya juga, meskipun saya masih sangat kecil untuk mampu mengerti apa makna penculikan, penahanan, kekejaman dan pembunuhan yang biasa didengan sehari-hari pada waktu itu. Hal yang saya ingat bahwa waktu itu, kami semua sangat terbiasa dengan suara tembakan dan desingan peluru yang terus memekakkan kesunyian malam tanpa mengetahui siapa sasaran tembak, dan besok paginya kami anak-anak kecil yang sepermainan, pasti berhamburan keluar mencari selongsong peluru yang jumlahnya beratus ratus untuk kami rangkaikan menjadi mainan.
Kondisi berciri keadaan perang lain yang tidak bisa saya lupakan pada saat itu, bahwa setiap rumah penduduk, diharuskan membuat lubang tempat persembunyian, dan beraktivitas di malam hari di bawah kolong rumah yang dikelilingi dengan dindingan bambu (rebbang) tersebut, ukurannya hanya pas untuk tempat perlidungan/tidur bagi seluruh anggota keluarga (biasanya ukuran 3×3 m dengan kedalaman 1,00 meter). Pada jam lima sore, (waktu itu, berlaku jam malam mulai pukul 18:00 sore sampai pukul 06:00 pagi) semua penduduk diharuskan sudah makan sore dan segera turun berlindung pada hamparan tikar di dasar lubang, duduk ngobrol atau tidur di sana sampai pukul enam pagi baru bisa keluar dari lubang perlindungan melakukan aktivitas (selama di lubang perlindungan tersebut tidak boleh menyalakan lampu – terkadang hanya curi-curi memakai lampu teplok minyak tanah yang ditutupi dengan kain hitan supaya nyalanya tidak terlihat dari luar). Kalau tidak mentaati ketentuan tersebut, resikonya kita bisa-bisa terkena peluru nyasar.
Foto salah satu terpaan peluru nyasar di pintu kamar ayah saya sekitar 60 tahun yang lalu (Foto nostalgia, H-Gany, 21 Juli 2009)
Hal ini memang nampaknya bukan hanya basa-basi, karena kami banyak menyaksikan pintu atau dinding berlubang kena peluru nyasar. (Malahan, pada bulan Juli 2009 saya masih sempat bernostalgia menemukan satu lubang peluru nyasar di rumah ayah saya, setelah lebih dari setengah abad berselang, hanya satu yang saya temukan, lainnya sudah tiada pada saat renovasi rumah beberapa tahun sesudahnya). Meskipun bekas terjangan timah hitam, yang saya temukan telah menjadi saksi bisu di sana hampir enam puluh tahun, namun begitu melihatnya, ingatan saya serta-merta terurai kembali seolah-olah sedang menyaksikan betapa mengerikannya keadaan perang waktu itu, di mana nyawa manusia sangatlah mudah dihilangkan, hamper setiap hari ada berita orang dibantai, digorok atau ditembak, meskipun terkadang hanya dipicu oleh kecurigaan yang tidak terbukti. Bulu kuduk saya spontan merinding membayangkan betapa kritisnya keadaan ayah saya yang dalam tahanan penguasa militer waktu itu.
~~~
Drama Penculikan Menjelang Dini Hari
Pada saat tengah malam menjelang dini hari di tahun-tahun 1952-an, penduduk kota kecil Watan Soppeng pasti sedang pulas-pulasnya tertidur diselubungi embun malam dengan udara yang cukup dingin berkabut, apalagi watu itu belum ada aliran listrik. Tidak keliru rupanya kalau Belanda menetapkan kota kecil-mungil Watan Soppeng dengan Bandung Van Celebes, karena memang suasananya mirip Bandung, dikelilingi oleh pegunungan pada cekungan dataran tinggi sehingga menjelang tengah malam mulai turun kabut membuat udaranya sangat dingin sampai sekitar pukul sembilan pagi, baru kabutnya sirna diterpa sinar matahari pagi. Begitu diginnya sampai-sampai minyak kelapa-pun turut membeku, biasa dipakai sebagai minyak rambut, khususnya orang wanita, bahkan gadis-gadis anak sekolahan sekalipun.
Dalam suasana kedamaian Bandung van Celebes tersebut, pada suatu malam, sekitar satu regu pasukan berseragam tentara bersenjata perang lengkap berjalan mengendap-endap diikuti dari jarak jauh oleh sebuah mobil jeep militer eks Perang Dunia II, dan sebuah mobil pick-up bak terbuka dengan kursi panjang (biasa kami sebut sebagai mobil power tentara) dan lampu dimatikan, bergerak melewati Lorong 14 Bila Selatan, menuju rumah kediaman Keluarga kami. Begitu rapinya gerakan mereka, sehingga tidak ada yang menyadari kalau malam itu rumah sudah dikepung muka belakang, dan kedua mobil mereka sudah diputar balik dan diparkir didepan rumah, menghadap kembali ke jalan besar ke arah pusat kota Watan Soppeng.
Picture 1
Foto rumah almarhum ayah saya di mana beliau diculik oleh penguasa militer setempat, sekitar tahun 1952 – pada saat itu, belum ada beranda depan (lego-lego), dan tangganya-pun masih terbuat dari batangan bambu, bersandar tegak lurus terhadap pintu depan, dan dinding sebelah kanan masih berupa dinding bambu yang disebut dedde. (Foto nostalgia, H-Gany, 21 Juli 2009)
Dalam keadaan pengepungan dengan siap siaga tersebut, dua orang menaiki tangga depan (waktu itu masih terbuat dari susunan bambu utuh disebut “sapanah”), mengetuk pintu depan dengan suara yang sedikit tertahan-tahan, seperti tidak mau kedengaran tetangga, mengatakan: “Pak Andi, Pak Andi, beberapa kali (untuk meyakinkan bahwa ayah saya sudah bangun). Mendengar namanya di panggil, (yakin bahwa itu pasti bukan orang yang dikenalnya, karena biasanya beliau disapa dengan Pung Dullah), beliau pikirkan waktu itu, mungkin ada peristiwa gawat. Sambil menyingkapkan sarung tidurnya dengan suara curiga menanyakan: “Siapa itu, ada apa malam-malam begini datang!”. Mendengar suara ayah saya bertanya, salah seorang yang berdiri di depan pintu tersebut, dengan senjata pistol otomatis, (yang satunya memakai senapan laras panjang siap tembak juga) menjawab, masih dengan suara tertahan seperti bebisik: “Pak Andi, kami dari satuan penguasa militer, diperintahkan untuk membawa Pak Andi ke ke Sektor (maksudnya ke kantor), segera berangkat bersama kami, jangan mencoba melawan, kami sudah mengepung rumah anda, serahkan senjata anda kepada kami (waktu itu, memang ayah saya selalu membawa ke rumah pistol colt pendek inventarisnya).
Mendengar hal tersebut, ayah saya yang tidak merasa bersalah apa-apa, mencoba menjawab: “Ada apa ini?, Tunggu saya siap-siap mengenakan pakaian dulu?”. Yang segera dijawab oleh mereka, tidak perlu siapkan pakaian (nanti besok suruh keluarga antarkan ke Sektor), segera saja ikut kami, nanti urusannya dijelaskan di kantor. “Kalau tidak percaya, lihat tuh di depan rumah – sambil mengarahkan lampu senternya menerangi kedua mobil yang siap mengangkut – sudah tersedia mobil militer menjemput anda, katanya meyakinkan.
Ayah saya dalam keadaan yang tegang, seperti biasanya mencoba menenangkan diri, mengenakan pakaian yang tergantung di sampiran belakang pintu, perlahan-lahan membangunkan ibu saya yang sedang tertidur pulas: “Ndi, ndi, (sapaan Ayah kepada Ibuku) ….. katanya sambil menepuk bahu ibu saya sangat pelan-pelan, “saya dijemput!”, mau berangkat sekarang, ada urusan penting, supaya menutup pintu, katanya lebih lanjut dengan hati-hati karena tidak mau membuat istrinya kaget pada dini hari itu.
Ibu saya juga yang tidak curiga sedikitpun, karena memang biasanya sering ada panggilan tugas malam-malam, langsung bangun mengantarkan ayah saya sampai di pintu dalam keadaan masih setengah sadar. Begitu pintu dibuka, tentara yang pegang pistol browning (mungkin itu komandannya) langsung menodongkan pistolnya ke Bapak saya meminta senjata pegangannya diserahkan. Peristiwanya hanya dalam bilangan detik, begitu pistol colt ayah saya diserahkan kepada mereka, beliau langsung ditarik menuju mobil jip yang dari tadi tidak dimatikan mesinnya, duduk di samping sopir, diapit dua orang bersenjata.
Ibu saya yang terbengong-bengong, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi, dihampiri oleh tentara satunya yang bersenapan laras panjang. “Jangan Panik Bu, kami diperintahkan untuk menjemput Pak Andi menghadap ke kantor kami (Sektor Militer), Ibu jangan panik, tutup saja lagi pintunya, besok Pagi Ibu datang mengatarkan pakaian dan peralatan mandi ke kantor kami (rumah Candu) di Jalan Terungku”, “mungkin akan menginap beberapa hari”, katanya sambil bergegas naik ke mobil pic-up pengawal, di mana semua yang tadinya mengepung rumah sudah siap duduk berbanjar menunggu di kursih panjang mobil tersebut. Tidak jelas berapa jumlah tentara semuanya, karena suasana sangat gelap, dan tidak ada lampu yang menyala (tahun 1954 baru jaringan listrik masuk ke Buccello, dan orang sipil dilarang memiliki lampu senter). Mereka langsung saja berlalu dalam hanya bilangan waktu semenit, dan tetap tidak menghidupkan lampu mobilnya sampai tiba di persimpangan jalan besar, seperti tidak meninggalkan kesan pencidukan sama sekali.
~~~
Setelah menyadari hal yang terjadi, Ibu saya, yang tetap berdiri kaku bengong di depan pintu, dengan serta-merta menangis, sambil berteriak panik memanggil nama kakek dan nenek saya, serta beberapa nama paman tetangga terdekat. Sontak saja suasana syahdu, aman dan damai Dusun Buccello tempat kami bermukim menjadi hiruk-pikuk. Bapak-bapak segera berdatangan membawa apa saja yang bisa dipakai sebagai senjata bela diri, menyangka ada huru hara, disusul ibu-ibu yang panik laksana bergujing satu sama lain menanyakan apa yang terjadi.
Begitu mereka diberitahu, langsung semuanya menjadi bisu, tuduk, laksana orang sedang berkabung laksana kematian anggota keluarganya. Mereka semuanya duduk mengerumuni ibu saya, sunyi, tanpa suara apapun kecuali isak tangis ibu saya yang tertahan-tahan karena tidak mau hal tersebut diketahui anak, anaknya. Sekali sekali terdengar suara, kakek, nenek, dan orang tua-tua tetangga kami: “Sabar …… Emma Radi (begitu mereka menyapa ibundaku), serahkan saja kepada Tuhan, kita harus tabah menghadapi cobaan”. “Polo paa … polo fanni (ungkapan Bahasa Bugis, yang artinya kita harus menurut sepenuhnya, kalau menghadapi penguasa”), kata seorang dari saudara nenek ibundaku. Suasana tersebut, berlangsung tanpa tertidur sedikitpun sampai pagi tatkala matahari mulai mengusir kabut yang menyelimuti kota Watan Soppeng dari Timur, dan sayapun baru terbangun, menyaksikan suasana yang menyimpang dari kebiasaan keluarga kami, turut meramaikan susana, dengan raungan tangis sejadi-jadinya. Saya malah menjadikan orang tambah sibuk, mendiamkan, dan berita pencidukan ayah saya ini langsung menyebar dengan cepatnya ke seluruh pelosok kota, padahal waktu itu, belum dikenal radio atau surat kabar.
~~~
Saya masih terlalu kecil untuk membayangkan apa yang terpikir oleh ibu saya yang terlihat diam berlinang air mata kesedihan sejak saya menghampiri, dikerumuni anggota keluarga yang semuanya juga bersimbuh air mata. Sesaat kemudian sekitar pukul 08:00 pagi, ibu saya menguatkan diri, langsung bangkit ke kamarnya mengumpulkan pakaian dan peralatan sehari hari yang diperlukan ayah saya menginap untuk beberapa hari. Saya melihat hal ini cukup aneh, karena bukan hanya pakaian sehari-hari yang disiapkan, tapi juga kasur tipis dan kelambu kecil. Saya waktu itu membatin: “Untuk apa ayah saya dibawakan kasur dan kelambu segala”.
Sayapun berniat untuk turut mengantar, untuk mencari tahu apa yang terjadi, tapi anak-anak tidak diperkenankan datang, sehingga ibu saya hanya berangkat membawa perbekalan kebutuhan ayah dengan ditemani, seorang kerabat tetangga (yang saya tidak ingat lagi orangnya), menggunakan bendi milik kerabat tetangga juga. Siang baru mereka kembali dengan wajah yang sedikit cerah, mendapati ayah saya yang oleh ibunda dikatakan tenang-tenang saja. Kami semuanya, juga merasa sedikit lega, yang tadinya disarati pikiran macam-macam, khawatir kalau-kalau yang menciduk ayah bukan penguasa resmi, dan semacamnya.
~~~
Dua hari kemudian, keluarga kami, termasuk anak-anak diperkenankan untuk membesuk sambil membawakan makanan untuk ayah, tapi hanya terbatas pada ibunda dan anak-anaknya saja tidak boleh ditemani orang lain. Dengan menaiki bendi tetangga (satu-satunya media transportasi umum di Soppeng waktu itu), kami bersama ibunda menucu ke rumah tempat ayah ditahan. Ternyata rumah itu adalah “Rumah CanduE” terletak di unjung timur Jalan Terungku, sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu, kecuali tiangnya yang terbuat dari kayu, dengan tiang setinggi sekitar 1,5 meter dari tanah ke lantai panggung yang terbuat dari sayatan belahan bambu (salimaa). Rumah tersebut hanya dijaga oleh seorang tentara di ruangan depan, duduk pada sebuah meja yang menghadap ke pintu kamar-kamar tahanan.
Saya mengetahui kemudian, dari ceritera orang tua bahwa rumah tahanan tersebut, dulunya dibuat Pemerintah Kolonial Belanda sebagai tempat lokalisasi orang-orang yang mengkonsumsi candu, di mana hanya boleh dikonsumsi dengan membeli candu di rumah tersebut di bawah pengawasan petugas, makanya diberi nama rumah “CanduE” yang melekat sampai sesudah kemerdekaan. Namun kini, rumah itu, sudah lama dibongkar dan diganti dengan kantor instansi pemerintah daerah yang sempat saya foto sebagai nostalgia pada tanggal 21 Juli 2009 yang lalu.
~~~
Pagi itu kami sudah bangun pagi-pagi sekali, Ibu sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk hantaran membesuk ayah. Kami tidak sabar rasanya menunggu bendi tetangga untuk dating menjemput kami. Meskipun jarak yang kami tempuh hanya sekitar tiga kilometer, namun rasanya kuda yang menarik dokar yang kami tumpangi, sangat malas mengangkat kakinya, sehingga berjam-jam rasanya baru dokar tersebut sampai di depan rumah CanduE di mana ayah di tahan. Saya sempat ditegur ibu karena belum sempat bendinya pakir, saya tak sabar menunggu, meloncat turun dan berlari kecil memasuki pekarangan rumah tahanan.
Saya menggodel di ujung belakang kebaya ibunda menaiki tangga yang bagi saya cukup tinngi anak tangganya sehingga saya harus merayap dengan dibantu ibunda menarik tangan saya naik ke ambang pintu yang sebenarnya hanya 1,5 meter tingginya dari tanah. Tangan saya sempat ditahan lagi oleh ibu yang sudah menyentak-nyentak tak sabar mau masuk, sementara kami belum disuruh petugas jaga yang tampak sangar menyeramkan duduk di meja depan, lagi pula kami belum tahu ruangan mana tempat tahanan ayah. “Tidak apa bu, namanya saja anak-anak”, kata penjaga tersebut ketika ibu minta maaf atas tingkah laku saya yang tidak sabaran. “Itu kamar pak Andi, katanya menunjuk sebuah pintu kamar dari bamboo reok, sambil menuntun kami masuk, muka sangarnya mendadak sirna ketika menyunggingkan seberkas senyum.
Pada saat kami menghampiri kamar tahanan ayah, kami sama sekali tidak merasakan adanya nuansa sedang dalam tahanan militer. Ayah yang sedang duduk di atas kasur tipis, dihampar diatas lantai sayatan bambu (salima), berlapis tikar, tertutp rapih dengan seprei kain belacu, membaca buku tafsir quran lusuh di bawah naungan kelambu gantung sekitar dua jengkal diatas kepala, dan terbuka kedua sisi depannya, segera beranjak menyongsong kami, membuat lantai sayatan bambu yang diinjaknya berderak-derak menambah gaduhnya suara ratusan kalong yang bergelantungan memenuhi pohon asam di depan rumah tahanan. Spontan saja kami berebut memeluk ayah melepas rindu, laksana sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Pada saat itu, kami benar-benar merasa lega melihat suasana tahanan yang baik-baik saja, meskipun sangat sederhana, seolah-olah tidak melihat adanya tanda-tanda perlakuan tahanan militer pada diri ayah saya.
Satu-satunya tanda bahwa beliau lagi di rumah tahanan adalah adanya seorang tentara berpakaian seragam lengkap di meja depan dengan senapan laras panjang disandarkan di sisi meja. Saya pun tidak berupaya untuk mencari tahu siapa-siapa saja yang ditahan di beberapa kamar lainnya, melihat suasana yang berkesan bersahabat tersebut, malah saya segera mau pamit pulang, mengabarkan berita gembira ini pada semua kerabat yang sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Di pintu kamar menuju ruang tengah, sewaktu kami beranjak pulang, ayah minta kepada ibu untuk diantarkan nasi bubur, katanya lagi sakit gigi tidak kuat makan nasi keras. Saya sempat melirik sekilas melihat tangan beliau yang memegang pipi kirinya, memang nampak sedikit lebam dan membengkak.
~~~
Saya tidak sempat mengingat berapa lama persisnya ayah ditahan di sana, dan sayapun hanya satu kali itu bersama ibu membesuk ayah, dan hanya menyongsong ibu detiap kali beliau pulang membesuk ayah. Jawabannya pun seolah-olah sama setiap kali ditanya; “Yah Pueng baik-baik saja, nak! Doakan saja supaya beliau cepat pulang”. Hal tersebut menjadi rutinitas rumah tangga kami tanpa ditemani ayah, sampai suatu saat, suasana menjadi goncang kembali mendapat kabar bahwa ayah saya mau dipindah tahanan ke Kota Watampone. Kami bersama kerabat, sekali lagi kembali dilanda prahara diliputi kesedihan yang mungkin lebih dahsyat dari waktu penculikannya. Bagaimana tidak, waktu itu tersebar desas-desus bahwa tahanan yang dipindah ke Bone, pasti mengalami permasalahan berat, dan jarang mereka yang kembali. Bahkan desas-desus mengatakan bahwa kebanyakan mereka dihabisi di jalan dalam perjalanan ke Bone. Waktu itu, kalau kita mau bepergian ke luar kota, harus ikut dalam iringan konvoi yang diantar oleh tentara yang bersenjata lengkap. Banyak kejadian konvoi dihadang dan dihabisi gerombolan pada daerah yang hanya beberapa kilometer di luar batas kota. Sementara jalanan dari Soppeng ke Bone, waktu itu-satu-satunya harus lewat Tanru’tedong (yang banyak tempat-tempat berbahayanya, dan sering terjadi pengadangan), karena jembatan pada jalur pintas lewat Wajo atau Lamuru kebanyakan sudah diruntuhkan gerombolan.
Menghadapi suasana genting tersebut, kami hanya bisa pasrah menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan, apapun yang dikendaki-NYA, termasuk menanamkan keikhlasan di hati, untuk menerima kemungkinan kalau seandainya memang Tuhan mentakdirkan kami hidup tanpa didampingi ayahanda tercinta, apa boleh buat, kami hanya mampu berdoa, dan berdoa.
Demikianlah, dengan diantar oleh doa-doa kami bersama keluarga besar di Soppeng, kami menghadapi kenyataan bahwa beberapa minggu kemudian ayah saya sudah selamat sampai ke tahanan di kota Watampone, yang memang masih asing bagi kami. Kami hanya bisa terus berdoa, sampai suatu saat mendapatkan berita gembira bahwa ayah saya sudah bebas dari tahanan, namun sementara harus tinggal bekerja di Kota Watampone sebagai polisi aktif kembali, alhamdulillah. Ibu menyusul menemani ayahanda ke Bone bersama adik bungsu saya yang masih berumur lima tahun pada waktu itu, karena kami semua tidak bisa meninggalkan sekolah di Watan Soppeng.
Di Kota Watampone, ayah ditempatkan pada sebuah rumah panggung milik penduduk, yang dekat dari kantornya. Saya bersaudara pernah di bawa serta ke Bone pada saat liburan, mengikuti iring-iringan mobil konvoi dikawal pasukan bersenjata. Perjalanan tersebut, meskipun konon bagi orang dewasa sangat berbahaya, harus menginap di jalan segala, membongkar rintangan yang dipasang gerombolan di tengah jalan, dan menegangkan karena setiap saat harus waspada terhadap serangan gerombolan bersenjata, tapi bagi saya sebagai anak kecil yang baru pertama kali seumur hidup bepergian, tidak terpikir sedikitpun akan ancaman bahaya, justru sebaliknya merupakan perjalanan darmawisata yang sangat mengasyikkan, dan sampai sekarang masih terekam indah di sanubari sampai ke detail-detailnya. Mungkin kerena itu, saya tidak pernah berupaya untuk mengetahui kelanjutan dan peristiwa di balik penahanan ayah.
~~~
Tersambar Haliltar Kegembiraan
Beberapa puluh tahun kemudian, ketika saya pulang liburan bersama keluarga di Soppeng sambil menengok orang tua yang sedang dalam persiapan pensiun, kami baru mengetahui detail dari prahara penahanan ayah yang justru sangat mengharukan dan mengandung banyak sekali pelajaran berharga dalam menjalani hidup di dunia ini yang justru sangat singkat. Saya sedikit merasa bersalah pernah menggap ikhwalnya biasa-biasa saja, Dari ceritera ayah yang kami dengar berjam-jam dengan tekun, kami mengetahui bahwa, mulai penculikan dirinya, sampai dipindahkan tahanan ke Watampone, beliau hampir-hampir putus asa menerima segala macam intimidasi dan siksaan fisik oleh oknum penguasa yang bergantian setiap malam mengintrogasinya.
Saat itu pula baru saya tahu bahwa pada saat kami membesuk beliau puluhan tahun yang lalu, justru diatur suasananya sedemikian rupa supaya kami keluarganya tidak berkesan bahwa beliau sedang dalam tahanan yang tersiksa berat. Ternyata, waktu beliau minta diantarkan bubur, waktu itu, dua giginya sebelah kiri atas bawah rontok karena benturan popor senapan, dan pukulan maupun tendangan yang bertubi-tubi memintanya mengaku atas kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Beliau ”tidak mau mengaku, sekalipun harus dibunuh, ini perinsip hidupku, katanya ber-api-api”. ”Tidak ada gunanya hidup di alam fana ini kalau harus berbohong mengaku, hanya karena tidak tahan diintimidasi atau disiksa”, katanya melanjutkan ceritanya sambil menarik nafas lega dalam-dalam. Saya melihat rasa bangga, syukur dan puas pada sinar matanya yang berkaca-kaca menuturkan hal ini. Pantas saja, sedikitpun tidak ditunjukkannya kepada kami semua gejala siksaan yang dialaminya pada saat di besuk keluarga, meskipun hatinya pasti meraung-raung menahan derita. Semuanya dilakukan karena khawatir kami merasa risau, cukup beliau saja yang mengalaminya. ”Semoga keturunanku, tidak pernah mengalami hal yang seperti ini di kemudian hari” tuturnya dengan lirih sambil meneguk kopi hangat kesukaannya.
Sedikitpun saya tidak bergeming dari kursi rotan keras yang dari tadi sudah terasa menjepit tulang ekorku, karena ingin mengetahui ceritera mengenai derama lanjutannya. Rupanya ayah bisa membaca apa yang ada di pikiran saya. Sebelum saya sempat menanyakan, beliau langsung melanjutkan ceritanya, seolah menjawab pertanyaan yang ada dibenak saya: ”Kenapa bisa di tahan? Apa tuduhannya dan bagaimana nyawanya bisa sekamat?” Padahal saya barusan dengar ceritera beliau bahwa hampir tiap malam tahanan yang bersamaan dengan beliau, secara demonstratif di bawa mobil dengan pengawalan bersenjata untuk dihabisi (istilah tembak mati) tanpa tentu rimbanya.
”Ini ceriteranya panjang nak”, lanjut beliau dengan pandangan yang jauh, seolah menerawang kembali peristiwa yang pernah menimpanya. Ternyata kejadiannya bermula dari adanya ”edaran permintaan sumbangan gelap” dari yang menamakan dirinya DI/TII kepada warga yang dianggap simpatisan di dusun Buccello. Konon, edaran tersebut dibawa malam-malam oleh orang tertentu yang ditakuti warga, apalagi disertai initimidasi, bahwa orang yang tidak menyumbang akan diculik dan dipotong lehernya. Seorang warga (masih keluarga dekat) yang cukup berada, memasukkan nama keluarga Andi Abdullah Gany dalam daftar, membayar, dan menandatanganinya sendiri, tanpa konsultasi keluarga kami, karena khawatir ayah saya berikut keluarganya diculik dan dipotong lehernya oleh gerombolan. Celakanya bahwa, pada suatu penyerangan besar, di markas gerombolan, tentara menyita daftar tersebut di mana ditemukan nama ayah saya tercatat sebagai salah seorang penyumbang.
Begitu daftar tersebut dilaporkan ke markasnya, spontan saja komandan tersebut, sebut saja namanya Letnan Surata (nama samaran), memerintahkan pasukannya menangkap ayah saya malam itu juga. Beberapa orang dalam daftar itu, yang terbukti menyumbang sudah dihabisi duluan tanpa diadili, dan ayah sayapun sudah direncanakan demikian. Hanya hal ini masih tertunda karena ayah saya tidak ada tandatangan pada daftar tersebut, dan tidak ada yang bisa jadi saksi. Juga karena ayah saya adalah anggota polri, yang sedikit banyaknya harus disertai dengan pembuktian autentik sebelum dinyatakan terlibat. Selanjutnya, melalui intimidasi dan siksaan mereka tidak bisa memaksa atau membuktikan ayah saya mengaku menyumbang Gerombolan. Kasus ini dianggap rumit oleh kuasa militer di Soppeng, sehingga harus dikirim perkaranya ke pimpinan yang lebih tinggi yang berkedudukan di Watampone.
~~~
Rupanya, Tuhan maha pengasih telah mengabulkan doa Ayah kami dan segenap keluarga besar, setelah tiba beberapa hari di Bone, entah bagaimana prosesnya, mengirimkan dewa penolong, seorang tentara berpangkat Mayor (sebut saja Mayor Arsendo, nama samaran), yang mendengar kabar adanya nama seorang anggota polisi Soppeng dengan inisial Gany, ditahan di tahanan militer Watampone. Tuhan menggerakkan hatinya, Mayor Arsendo pun mengirim anak buahnya untuk mencari tahu kebenaran berita penahanan anggota polisi berinisial Gany tersebut. Dia merasa panasaran, karena memang beliau mengenal baik ayah saya, karena sering bertemu untuk membahas masalah-masalah keamanan pada berbagai kesempatan rapat koodinasi di waktu lalu.
Begitu mendapat laporan bahwa yang ditahan tersebut adalah Ayah saya Andi Abdullah Gany, Mayor Arsendo langsung ke tahanan militer Bone, meminta untuk ayah dikeluarkan hari itu juga sambil mengatakan kepada komandan jaga: ”Keluarkan Pak Andi Sekarang, saya tahu persis siapa Pak Andi, dan saya berani menjamin sepenuhnya bahwa Pak Andi tidak mungkin menjadi Aggota atau sponsor Gerombolan, kalau ada apa-apa diri saya menjadi taruhannya, lepaskan dan bawa ke kantor saya” sambil beranjak pergi. Mendengar perintah dari Pak Arsendo tersebut karuan saja komandan jaga (yang berpangkat Letnan muda), menghormat, ”Siap komandan”, sambil memerintahkan anak buahnya membuka sel tahanan.
~~~
Mengenakan pakaian lusuh dari tahanan, ayah saya yang masih bingung penuh tanda tanya mengira bahwa inilah hari terakhir hidupnya, berjalan dengan gontai, seperti tahanan yang mau dieksekusi mati, memasuki kantor Mayor Arsendo. Setelah pengawal menyerahkan ayah saya ke kantor Pak Arsendo, dan menutup pintu kamar depan, pak Arsendo moncul di balik tirai di samping meja kerjanya langsung merangkul ayah saya, yang semakin kebingungan, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ayah saya tidak langsung mengenal Pak Arsendo, maklum masih dalam keadaan lunglai, dan sudah lama tidak bertemu, lagi pula tidak pernah sedikitpun menyangkan hal ini akan terjadi, karena sehari-harian, hanya kematianlah yang dipikirkannya.
Melihat gelagat tersebut, Mayor Arsendo, langsung saja menyapa duluan: ”Pak Andi, tidak usah dipikirkan, hari ini Pak Andi Bebas tanpa syarat, saya mengerti siapa Pak Andi dari pergaulan kita sehari-hari bertahun-tahun yang lalu, saya yang menjamin”. Siap-siaplah memanggil keluarga di Soppeng, dan bekerja kembali di Kepolisian, tapi sementara di Bone dulu, nanti kalau sudah mapan baru pindah lagi ke Soppeng, atau kemana saja kalau mau. Nanti saya yang urus dengan Kantor Kepolisian Bosowa, semua administrasinya”, Katanya dengan khas militer yang tegas dan mantap.
Entah apa yang ada dalam pikiran ayah yang disambar halilintar kegembiraan, hanya almarhum dan Tuhan saja yang tahu, tapi yang jelas, hanya, dua kata yang bisa keluar dari mulutnya, alhamdulillah dan terimakasih ya Allah berulang-ulang, disertai linangan air mata gembira, yang tidak pernah terbayang sebelumnya. ”Inilah buah semua ibadah dan silaturahim yang saya lakukan selama ini dengan disertai doa kalian, semua keluarga, ”tidak ada yang mustahil kalau Tuhan menhendaki”, ”Maha suci Allah yang telah melimpahkan Rakhmat-Nya kepada kita semua”, kata ayah dengan sorotan mata yang berbinar-binar menutup kisahnya. Tak terasa, hari menjelang magrib, kami telah duduk di kursi rotan keras tersebut berjam-jam, benar-benar tenggelam dan larut dalam kisah nyata beliau yang sempat terseggol prahara politik SOB di tahun 1950-an.

Villa Juliana: A Forgotten Historical Heritage of Watan Soppeng, South Sulawesi; Demanding for Attention

Villa Yuliana 
 
Villa Yuliana merupaka salah satu bangunan peninggalan Belanda di Kabupaten Soppeng, bangunan ini terletak di jantung kota Watansoppeng dibangun oleh C.A.KROESEN Tahun 1905 selaku Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi.
Konstruksi dan arsitektur bangunan ini merupakan perpaduan gaya Eropa dan gaya Bugis.
Villa Yuliana ini merupakan bangunan kembar, satu diantaranya ada di Nederland, pembangunan Villa ini merupakan wujud kecintaan terhadap Ratu Yuliana.

Villa Yuliana
(sumber: www.soppeng.go.id) 


juliana1A REPORT FROM SITE VISIT ON THE OCCASION OF THE GROUP HOME-RETURN (REWE’ SIPULUNG) SEMINAR,, WATAN SOPPENG, 1ST JULY, 2003
By: Hafied Gany
INTRODUCTION
Soppeng is one of the former kingdoms in South Sulawesi — with the Capital Town of Watan Soppeng – The history of Soppeng Kingdom was started 742 years back, when the first king, La Temmamala was enthroned in 1261. During the Dutch Time, at the turn of The 19th Century till Indonesia’s independence, the Soppeng Kingdom had been steadily ruled with an extensive local autonomy recognized by the Netherland-Indie’s Government. Since then, Soppeng Kingdom had experienced decent and prosperous governance and subsequently, the Kingdom transformed into a Kabupaten (Regency) Government Administration in the 1960’s. During which, Watan Soppeng had a pride for being gratified by the Dutch Government as a decent town referred to as “Bandoeng van Celebes” – having had many similarities with its sister city, Bandoeng (Paris van Java), as famously branded during the Dutch time.
A while after the birth of Her Royal Highness Queen Juliana, Soppeng Kingdom again had a most honourable privilege for being bestowed by Her Royal Highness Queen Wilhelmina with a monumental Building (with Dutch architectural style) erected at an eye catching landmark of Watan Soppeng. The building had been utilized as the official residence of the Dutch Controller. (It was said that this honourable grant was the only of its kind in the entire territory of the Netherlands Indie at that time). Today, the building is still in its original shape and has been utilized as the Local Government guesthouse (locally re-known as Villa Juliana or Mess Tinggia in local language). Whatever the reason behind the honourable gift, there must be a strategic rationale that could directly explains the strategic importance of Soppeng Kingdom during that time.
In an attempt to seek alternative endeavours for reinventing the wheel of the “Bandoeng van Celebes” nostalgia, a community group of “Soppeng Regency (South Sulawesi)” who are permanently residing and working in Bandung – on various Government Sectors, NGOs, Professionals, Universities, and Private Sectors, with the consent of the Local Autonomous Government (Bupati Kabupaten Soppeng) had arranged a “Group Home-Return-Program ”(Rewe’ Sipulung –2003) at the first week of July 2003.
The highlight of the program is “A-One-Day Seminar”, which was held on July 1st, 2003 having the main topic of: “Development Perspective of Soppeng Regency toward Materialization of Local Autonomy”. Through some field visits, attention has been attracted to one of the historical heritages of Soppeng Regency, which is Villa Juliana that had been identified as being under the severely deteriorated and badly demanding for attention. This report has been prepared for illustrating the present status, condition of the heritage with some historical background information and some recommendations for calling our attention and concern to rendering whatever efforts for renovating the forgotten historical heritage.
HISTORICAL BACKGROUND
The Juliana Villa is located at the hilly landmark of Jalan Merdeka of Watan Soppeng, the capital town of Soppeng Regency, under the local government administration of village Botto, District of Lalabata. This town landmark is renowned by local community as Villa Yuliana or Mess Tinggia, a landmark building, which is erected at the top of a hill, in local language. This landmark was constructed in 1905 (Pananrangi Hamid, 1991:203), during the term of The Netherlands Colonial Governor of Celebes, Mr. C.A. Kroesen. It was said that the building, beside it status as a special gift from Her Royal Highness Queen Wilhelmina of The Netherlands, it was also considered as a symbolic submission of power from the Soppeng Kingdom to The Dutch Colonial Government. In this context, the Soppeng Kingdom was considered as one of the local kingdoms in Southern Celebes, that had been agreed to sign The Treaty for Submission of Power to the Dutch Colonial Government (Korte Veklaring). Later in 1908, the entire Local Government Kingdoms in Southern Celebes were integrated into the Dutch Colonial Government Administration (ibid, 237).
Following the administrative structure of the “Netherlands Indie” of 1941, the Administrative Territory of Soppeng was set up as a Sub-Regency (Onder Afdeling) under the Regency of Bone (Afdeling Bone), covering the following district: Lalabata, Liliriaja, Lilirilau, Pattojo, Citta, Marioriawa, and Marioriwawo (Ibid, 339).
Upon the signing of the Treaty for Submission of Power, the Dutch Colonial Government erected the Juliana Villa, which was also intended to be the official residence of The Dutch Colonial Officer in the Onder Afdeling. Soppeng
According to some information, the Juliana Villa was initially prepared for accommodation of the Queen at the visit to South Celebes, but due to the security condition during the War, the Queen’s visit had never been materialized. Nevertheless, the villa was still utilized as the official residence of the Dutch Officers.
From 1957 to 1992 Villa Juliana had never been occupied. Before that period, the surrounding land area (yard and park of the villa) was utilized to put up some public buildings, including government houses and a kindergarten. This had made the scenic beauty of the Soppeng landmark was practically disappeared. Then, from 1992 to 1995 the building was utilized as the lodging house for young officers of the Local Government, Police Officers, and Fire Fighting Officers.
Re-inventory and Re-zoning of the Building
Following the Indonesian Law No. 5/1992 about Historical and Cultural Heritages, and Article No. 23 sub article 23 of the Government Regulation No. 10/1993 and Ministerial Decree of The Minister of Education and Culture 063/0/1/1995, the Provincial Government of South Sulawesi had conducted a re-inventory and re-zoning of the land areas (yard and parks) Villa Juliana for preventing and protecting the historical heritage from inappropriate utilization. For the above purpose, the local Government of Soppeng Regency is planning to undertake restoration of the building and its appurtenance structures back to its original shape and looking forward to make use of the building as a cultural centre and to keep all the ancient heritages of Soppeng as a museum as well as a distinct landmark for anyone approaching the historical capital town of Watan Soppeng.
As part of the plan, an effort has been initiated for rezoning of the land’s area of Villa Juliana — which was registered as a historical heritage No. 448, and protected by Law No. No. 5/1992 – This effort was conducted on May 2, 2000 by the Agency for Protection of Historical and Cultural Heritages of South and Southeast Sulawesi. The result of this effort will be utilized to support planning for subsequent reconstruction, protection and preservation as well as sustainable maintenance of the historical heritage and its related environment dedicated to the present and future generations.
juliana2
Figure 1. Imaginary (rough) sketch of Villa Juliana after restoration
Problems and Constraints
The fact that Villa Juliana is located at the hill most top of Watan Soppeng — following the Spatial Planning of the Local Government of Soppeng within 1999-2008 and the Local Government Regulation No. 4/1994 about Spatial Planning of Lalebata District — the lands in the vicinity of Village Juliana has been determined as residential public areas, including the permit of the former Local Government for “Telkom” State Owned Company to build a Digital Telephone Station within the land area of the villa (Permit No. 3961/KDSI/ 1989). This condition has been hindering the effort for preserving and refurbishing Villa Juliana and its related vicinities.
The structural data and information of the building, as-built-drawing, and other technical specifications as well as historical of technical background are not available at all. In fact, this series of information are badly needed in order to be able to facilitate designing the restoration works while maintaining the originality of the structure as well as the architecture of the building.
Other problems are associated with the needs for resettlement and relocation of some public facilities and housings around the complex, which were constructed by the local authority immediately after the war. This matter urgently needs rearrangement of spatial planning by considering the original land use for the yard and the park of the villa at the time when it was constructed earlier in 1905.
Technical Feature and Condition of the Building
Villa Juliana was constructed with permanent type (typically Dutch style building) of two-storied building. The first floor consists of cement pavement tile, while the second floor with timber structure, finished with first-class floorboard. The roof of the building was originally made of tile with a steep slope. At present the roof covers with asbestos sheets, painted with brown colour. As most European type of houses, Villa Juliana also provided with chimney, however, it was only intended as a decorative symbol of European style of houses, and never have been functioned.
juliana3
Figure 2. Front view (seen from West) of Villa Juliana (3 July, 2003)
The first floor area consists of two rooms separated by corridor in between with a total area of 56m2. The first floor also provided with a bathroom, a kitchen and sitting (dining) room.
Both the first and the second floor are provided with verandas or balconies, which are supported by four squared pillars of 70 to 70cm size. Part of the first floor entrance is used for lining a wooden stair to the second floor. The wall consisted of 30cm brick wall with a vertical type of windows on it giving impression of toll and lean shape. The front entrance provided with two doors, one of which is connected to the right-side room, the other room is connected to the corridor. Just at the end of the corridor to the backyard there is a door with two windows. At the outside of the door on right side, there is a permanent outdoor-masonry stepladder to get access to the second floor from back yard. At the back yard, separated from the main building, there is an extended house consisted of several rooms and a water reservoir.
juliana4
Figure 3. Rear view (seen from East) of Village Juliana – under the highly deteriorated condition (July 3, 2003)
Overall Condition: At the time of the visit, the overall condition of the building and appurtenance structures are under the severely damaged due to aging and practically no maintenance works has been rendered so far. Some parts of the roof are badly damaged and even covered by wild vegetations. Parts of the wooden materials of the second floor structure are badly deteriorated and can no longer be utilized without a significant restoration.
juliana5
Figure 4. Back door; with stained wall Figure 5. Damaged back door
juliana6
Figure 6. Kitchen door with stained wall Figure 7. Side door; stained wall
juliana7
Figure 8. Damaged ceiling Figure 9. Back door; stained wall
Preventive Measures: As a preventive measure, the Local Government has made some endeavours, at least to collect data and information, including zoning and mapping, fencing and setting notice board as well as recruitment of daily labourers to watch the building from potential vandalism.
Rezoning of the building and appurtenance facilities: Three categories of zones have been determined: (1) Main or restricted zone; (2) Buffer zone; and (3) Limited Development zone. The main or restricted zone will be preserved and highly restricted for any new construction. This zone is determined at the map with the distance of 62m to the North side, 50m to the East side, 70m to the South, and 40m to the West side, totalling of 2,970m2. The buffer zone will be reserved as a free area at the average of 5.50 m beyond the restricted zone and will be bordered by permanent fence that matched with the structure, architecture and scenery of the park/yard. The limited development zone will be freed from building in the long run, while the existing building will be relocated to other location on fair compensation basis. For this, no new buildings and constructions are allowed in this zone.
CONCLUDING REMARKS
The Juliana Villa is located at the hilly landmark of Watan Soppeng, the capital town of Soppeng Regency, under the local government administration of village Botto, District of Lalabata. This town landmark is renowned by local community as Villa Yuliana or Mess Tinggia or a landmark building, which is erected at the top of a hill, in local language. This landmark was constructed in 1905, during the term of Netherlands Colonial Governor of Celebes, Mr. C.A. Kroesen.
Through a long history, the villa has been utilized for official residence of The Dutch Colonial Officer in the Onder Afdeling Soppeng. From 1957 to 1992 Villa Juliana had never been occupied. In fact, during the period, a number of public buildings were constructed within the land area of the villa, without considering appropriate spatial planning. This had made the scenic beauty of the historical landmark of Watan Soppeng was nearly disappeared. From 1992 to 1995 the building was only utilized as the lodging house for young officers of the Local Government, Police Officers, and Fire Fighting Officers and yet, without appropriate maintenance.
At present, the overall condition of the building and appurtenance structures are under the severely damaged due to aging and practically no maintenance works has been rendered so far. Some parts of the roof are badly damaged and covered by wild vegetations. Parts of the wooden materials of the second floor structure are badly deteriorated and can no longer be utilized without a considerable restoration.
Under such an alarming condition, it is not an exaggeration to say that within not too long, this historical heritage of Soppeng Regency will become completely deteriorated and vanish from the memory of the future generation. Under the SOS condition, The Juliana Villa is crying to seek our help, concern and attention.
The current local Government of Soppeng Regency badly needs our support for undertaking restoration of the building and its appurtenance structures and looking forward to utilizing the building as a cultural centre and to keep all of the ancient heritages of Soppeng as a museum as well as a distinct landmark for anyone approaching the historical capital town of Watan Soppeng.
Bandung, 1 August, 2003.
BIBLIOGRAPHY
Anonim, Pedoman Studi Pemintakatan Benda Cagar Budaya, Makalah.
______, Undang-Undang Benda Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993.
______, Pola Perkembangan Kota dan Arsitektur Ujung Pandang, BAPPEDA Ujung Pandang, 1991.
______, RUTR 1999-2008 (Kawasan Kota BWK A, B, C, D) Kabupaten
Soppeng, Dinas Tata Ruang – Kabupaten Soppeng, 1999.
Eko Biharjo, Arsitektur Sebagai Warisan Budaya, Djambatan, Jakarta, 1997.
Pananrangi Hamid, Sejarah Kabupaten Soppeng, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Ujung Pandang, 1991.
Ronald Arya, “Arsitektur Indo”, Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis,
IAAI, Yogyakarta, 1997.
Suaka Peninggalan Sejarah Sulselra, 2000. Pemintakatan Situs Villa Yuliana Di Kabupaten Soppeng, 28 Agustus 2000.
Sudartha, Konsevasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta, Gajah Mada University Press, Yogyoakarta, 1989.

Di Takalala, Bendi 'Mendikte' Tarif Ojek Motor


:: Sultan Habnoer ::

Bendi di Takalala, Kabupaten Soppeng.
Foto: Sultan Habnoer.

Bendi, biasa pula disebut dokar, merupakan salah satu alat transportasi warga di kota Takalala, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng. Alat transportasi ini menjadi angkutan utama warga ke pasar. Selain bebas polusi, kehadiran bendi juga mampu mendikte harga tarif angkutan di kota kecil itu, sebagaimana dilaporkan citizen reporter Sultan Habnoer yang mengunjungi Takalala beberapa waktu lalu.(p!)

Hari masih gelap, matahari pun belum keluar dari peraduannya. Tetapi, derap langkah kuda yang menarik gerobak terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian subuh. Aneka jenis barang mulai dari sayuran, kain, hingga furniture melaju bersama kereta kuda ini menuju Pasar Sentral Takalala. Begitulah gambaran aktivitas bendi, sebuah moda transportasi lama yang masih bertahan di Takalala hingga hari ini.

Meski tradisional, bendi mampu bertahan dalam serbuan berbagai sarana angkutan modern. Kehadiran angkutan jenis pete-pete yang berpenumpang banyak atau ojek motor yang cepat serta gesit mengantar hingga ke tangga rumah penumpang, tidak mampu menggeser bendi sebagai angkutan pilihan.

Bendi tetap menjadi sarana angkutan bagi warga Takalala dan sekitarnya. Alat transportasi yang menggunakan tenaga kuda ini umumnya beroperasi pada hari Selasa dan Sabtu. Pasalnya, kedua hari itu merupakan hari pasar di ibukota kecamatan Marioriawa. Bendi di Takalala memang memiliki fungsi utama mengangkut warga ke pasar dan sebaliknya.

Bertahannya bendi sebagai sarana angkutan tidak lepas dari kedekatan warga dengan angkutan tradisional ini. Antara bendi dan warga telah terjalin kedekatan batin. “Menyameng metto sedding ku tomabbindi’,” kata Hj. Ruga, salah seorang warga Kelurahan TettikenraraE, mengenai ‘asyiknya’ naik bendi. Menurut pensiunan guru ini, ada rasa kedekatan antarsesama warga yang tercipta ketika berada di bendi dan itu tidak ditemukan di pete-pete apalagi ojek. Gerobak yang kecil, duduk saling berhimpitan dilengkapi cerita kehidupan sehari-hari, suasana itulah yang membawa kedekatan antarwarga.

Secara umum warga di Takalala, Labessi dan sekitarnya memang lebih memilih bendi ketimbang alat angkutan lainnya. Ini dapat terlihat dari ramainya penumpang yang hilir mudik dengan bendi di hari pasar. Di jalur yang sama, ojek atau pete-pete bisa kosong penumpang, tetapi tidak dengan bendi.

Di hari pasar, tampak begitu banyak bendi, dengan berbagai jenis barang yang diangkutnya. Gula merah, kemiri, sayuran, minyak tanah hingga furniture merupakan beberapa contoh.

Aktivitas bendi dimulai selepas salat subuh. Pagi-pagi sekali, di kala sebagian warga masih terbaring di tempat tidur, bendi-bendi ini mulai melaju mengantarkan berbagai barang jualan. Ketika matahari mulai bersinar dan barang-barang itu telah terangkut, bendi-bendi ini kemudian beralih mengangkut penumpang yang hendak ke pasar.

Dengan kendali seorang kusir, bendi mampu mengangkut maksimal lima penumpang. Empat penumpang duduk di belakang kusir. Mereka duduk berdua-dua di kursi memanjang yang saling berhadapan. Satu penumpang lainnya duduk menghadap ke depan di samping kusir.

Rute yang dilalui berkisar satu hingga tiga kilometer. Dengan jarak seperti itu, penumpang hanya dikenakan biaya seribu rupiah. Barang bawaan tidak dikenakan tarif, selama tidak menempati tempat duduk. Tarif yang murah untuk ukuran saat ini.

Hamid, salah seorang kusir bendi, menuturkan bahwa di hari pasar dia bisa mengangkut 30 hingga 50 penumpang. Dengan demikian, penghasilan bersih yang bisa didapatkan berkisar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. Seperti kusir lainnya, Hamid menjalankan bendi dua kali seminggu. Hari-hari lainnya digunakan untuk berkebun dan beternak sapi. Selain itu, dia harus pula menyisihkan waktu untuk mencari rumput, ‘bahan bakar’ bendinya.

Biaya operasioanl bendi sangatlah kecil. Paling-paling hanya untuk menambal ban jika bocor, mengganti sepatu kuda, atau mengganti ban. Itupun sangat jarang dilakukan. Bahan bakar tidak ada sama sekali. Untuk terus melaju dengan kencang, kuda-kuda itu hanya membutuhkan service berupa rumput dan dedak. Inilah makanan favorit kuda. Dengan makanan yang terjamin, kuda-kuda ini akan tetap kuat untuk melaju membawa penumpang. Untuk menjaga kebugaran, setiap hari sebelum dan sesudah beroperasi kuda-kuda itu dimandikan.

Tapi antara angkutan bendi dan ojek motor, rupanya ada ‘perang tarif’. Beberapa waktu lalu, ojek menaikkan tarif dari seribu menjadi dua ribu rupiah. Namun, tarif yang lebih tinggi itu membuat ojek motor tak mampu mendapatkan penumpang. Akhirnya, untuk bersaing mendapatkan penumpang, ojek-ojek ini kemudian menurunkan tarif menjadi seribu rupiah, sama dengan tarif bendi. Lucunya, tarif itu hanya berlaku pada hari Selasa dan Sabtu ketika bendi beroperasi. Di hari-hari lainnya, tarif ojek tetap dua ribu rupiah. Jadilah, Takalala memiliki dua tarif angkutan ojek motor, yang ditentukan oleh kehadiran bendi.

Bendi-bendi ini pun beroperasi secara tradisional. Bendi tidak dikendalikan organisasi operasional tertentu seperti para pengojek. Jumlahnya cukup banyak, namun data pastinya sulit ditemukan. “Pokokna maega (pokoknya banyak)”, demikian komentar Suki salah seorang kusir ketika ditanya berapa jumlah bendi di Takalala. Ketika penulis menyodorkan angka 70 buah, Suki sangat yakin jika jumlah bendi melebihi angka itu. “Ai..de’ napittupulo mi, lebbi (Bukan hanya 70 buah, lebih dari itu),” katanya.

Lebih jauh, Suki bercerita tentang kesulitan mendata jumlah bendi. Bendi-bendi ini datang dan pergi. Setiap saat jumlahnya bisa bertambah ataupun berkurang. Siapa saja yang memiliki kuda dan gerobak bisa mengoperasikan bendi. Di masa bercocok tanam dan panen jumlah bendi berkurang. Kuda itu beralih fungsi untuk membajak sawah atau menjadi kuda beban mengangkat padi di musim panen.

Bendi-bendi di Takalala umumnya dimiliki warga yang berprofesi sebagai petani. Berbeda dengan angkutan kota maupun ojek motor yang banyak dimiliki oleh pengusaha berduit. Namun, untuk memulai usaha bendi, juga tidaklah mudah. Modal jutaan rupiah pun harus dipersiapkan untuk membeli kuda dan gerobak. Satu ekor kuda biasanya dihargai enam juta hingga sembilan juta rupiah. Tetapi, karena kuda ini biasanya diternakkan oleh warga, jadilah modal yang begitu besar menjadi tak terasa.

Bebas polusi
Bendi tentu saja bebas polusi. Satu-satunya ‘potensi polusi’ yang bisa muncul adalah kotoran kuda yang bisa dibuang setiap saat. Namun, masalah ini telah disadari oleh para kusir dengan memasangi penadah kotoran kuda di bagian belakang. Dengan demikian, kotoran kuda tidak akan tercecer ke mana-mana, apalagi di jalanan.

Bendi dapat juga menjadi daya tarik bagi warga yang merantau (passompe) ke berbagai kota. Ketika mudik, mereka biasanya menyempatkan diri untuk menggunakan bendi. Khususnya, bagi anak-anak perantau, yang besar di kota.

Hamid, seorang kusir senior, menuturkan bahwa di musim lebaran, seringkali bendinya disewa oleh perantau untuk sekadar jalan-jalan menikmati suasana kampung. Dia menceritakan seorang passompe dari Jakarta pernah menyewa bendinya Rp20 ribu untuk membawa anak-anaknya berkeliling. Bahkan ada pula yang menyewa bendi untuk keperluan bersilaturrahmi (massiara) atau untuk keperluan ziarah kubur.

Di masa lalu, bendi banyak pula ditemukan di Kota Watansoppeng, ibukota kabupaten. Hingga akhir tahun 1990-an, bendi masih banyak digunakan sebagai sarana angkutan di Kota Kalong ini. Anak sekolahan termasuk yang paling menikmati jenis angkutan ini, utamanya bagi mereka yang bersekolah di SMAN 1 Watan Soppeng dan SMA PGRI. Bendi melayani rute Jalan Kesatria, Jalan Merdeka, Bila Selatan hingga Bila Utara.

Saya teringat, kala itu bendi menjadi penanda status sosial dan ekonomi keluarga. Sangat mudah ditebak, mereka yang menggunakan bendi ke sekolah adalah dari keluarga berada. Tarif yang dikenakan Rp100 hingga Rp200 sekali jalan. Meski sederhana, bendi menjadi transportasi elit. Anak-anak sekolah yang datang dari kampung dengan ekonomi pas-pasan biasanya berjalan kaki di bawah panasnya terik matahari menyusuri Jalan Kesatria dan Jalan Wijaya menuju terminal yang berada di Pusat Pertokoan.

Kini, perlahan-perlahan jumlah bendi semakin berkurang. Perannya digantikan ojek motor yang ada di setiap sudut kota. Jumlah bendi yang beroperasi tinggal sehitungan jari. Tidak tertutup kemungkinan, bendi Kota Kalong akan segera berlalu dan tinggal kenangan.(p!)

*Citizen reporter Sultan Habnoer dapat dihubungi melalui email sultan_soroako@yahoo.co.id