Catatan Redaksi: Berikut adalah tulisan tentang salah seorang sosok sesepuh Soppeng, H. A. Abdullah Gany seperti yang dituturkan oleh Putra Keduanya, yang juga menggambarkan sekelumit sejarah Soppeng di masa lalu. Kami juga menerima tulisan serupa untuk dimuat di situs ini yang tentu akan menjadi kumpulan catatan sejarah berharga tentang kota kita tercinta. (Red)
Ikhwal kota Watan Soppeng yang saya angkat pada artikel kali ini adalah sekelumit kilas balik cuplikan keadaan kota Watan Soppeng di tahun 1950-an yang diilustrasikan melalui kisah nyata pengalaman ayah yang saya ketahui dan saksikan di masa kanak-kanak, di mana beliau (dalam status sebagai petugas polisi negara) di tangkap di rumah kediaman kami di tengah malam buta, lalu dimasukkan dalam tahanan militer dan nyaris dihabisi riwayatnya oleh penguasa militer, dengan tuduhan bahwa beliau sebagai petugas polisi telah memihak/mendukung gerombolan bersenjata yang menamakan dirinya DI/TII pada waktu itu (tahun 1950-an).
Beliau sempat disiksa secara fisik melalu berbagai interogasi, dan orang-orang yang ditahan bersamaan waktunya dengan beliau, rata-rata sudah dihabisi satu persatu berturut turut setelah mengalami siksaan di tahanan. Dalam suasana operasi militer pada waktu itu, hanya kekuasaan Tuhanlah yang menyelamatkan beliau dari prahara politik, meskipun beberapa giginya sempat copot karena diterpa bertubi-tubi dengan siksaan, pukulan, tamparan atau pokrol senapan oleh petugas penginterogasi.
Ayah saya adalah anggota polisi negara yang hanya jebolan sekolah guru lima tahun
Boemi Poetra (tahun 1930-an), di Watan Soppeng Sulawesi Selatan, yang kemudian mengawali kariernya menjadi juru tulis pembantu pelaksana tata usaha di kantor Desa Lalabata, Swapraja Soppeng. Beliau kemudian ditugaskan sebagai mantri polisi, pada Daerah Swapraja Soppeng. Dan terakhir, beliau berhasil diangkat menjadi Polisi Negara R.I. setelah Polisi Swapraja dibubarkan, dan bertahan sampai beliau pensiun dalam tugas ini.
Sepanjang pengetahuan saya sebagai anaknya yang ke dua saya mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak pernah mau tahu tentang kegiatan politik, apalagi terlibat pada kegiatan makar atau kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan pemerintah. Beliau adalah petugas pemerintah yang benar-benar professional, yang sangat taat kepada ketentuan yang berlaku.
~~~
Kesyahduan Dusun Buccello Terusik
Di suatu pagi yang dingin berkabut (sekitar tahun 1952-an, di Dusun Bucceloo Bila Selatan, Soppeng) saya yang baru duduk di kelas dua sekolah Rakyat, merasa sangat curiga dengan “kekosongan” ruang duduk keluarga di depan dapur, yang biasanya pada saat saya bangun pagi, saya selalu mendapati ayah saya berkemul dengan sarung tidurnya (yang terbuat dari dua helai sarung batik dijahit menjadi satu supaya cukup panjang menutupi sekujur badannya yang jangkung) bersandar di tiang tengah, mengisap rokok klintingan (
Tokka CabbengngE), sambil meneguk kopi kental kesukaannya. Pada saat seperti itu, saya bersama kakak, pasti sudah nimbrung duduk di sana menikmati teh seduhan Goalpara, sambil berselonjor menumpukan kedua kaki pada sarung yang tetap kami pakai untuk menahan dinginnya udara “Soppeng” di waktu itu. Biasanya ayahanda dan ibunda mempergunakan kesempatan itu untuk berbincang-bincang sambil bercengkerama dengan kami, menikmati pisang goreng atau rebusan ubi kayu atau jagung, terkadang ubi atau kacang rebus.
Kecurigaan saya semakin menjadi-jadi sewaktu sayup-sayup saya mendengar isak pilu ibunda di ruang depan yang dikerumuni oleh beberapa tantenya (uak: Bugis) yang berdatangan ke rumah menjelang fajar. Sayup-sayup saya dengar beberapa
uaknya mengatakan: “Sabar Emma Radi (panggilan mereka kepada ibundaku), ini adalah cobaan Tuhan”. Beberapa saat, sambil mengendap-endap saya mendengar suara ibunda lirih, sedikit berbisik menjawab: “tapi jangan dulu disampaikan kepada anak-anak, uak Aji! Nanti mereka kaget”.
Justru mendengar hal tersebut, rasa ingin tahu saya mendadak menjadi meluap-luap, saya tidak sabar lagi mengendap-endap menguping pembicaraan mereka, malahan langsung menghampiri mereka ke ruang depan sambil bertanya dengan menangis, ada apa? Kok saya tidak boleh diberitahu? Mereka langsung membujuk saya dengan suasana laksana berkabung: “Sabar nak, jangan menangis, Pueng (panggilan kami kepada ayah) tengah malam tadi dijemput beberapa orang tentara bersenjata), ini cobaan Tuhan, doakan saja supaya Pueng tidak apa-apa. Suara tangis saya malah semakin tak-tertahankan lagi. Saya memeluk leher ibu erat-erat sambil menangis sejadi-jadinya, membuat tetangga pada kaget berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Foto lokasi rumah tahanan penguasa militer tempat ayah saya ditahan. Gambar inset adalah foto ayah (H. A.A Gany) dalam seragam polisi di tahun 1960-an. (Foto Nostalgia Hafied Gany, Juli 2009,) Para tetangga yang berdatangan sontak menjadi murung laksana berkabung, dan hanya bisa terdiam seribu bahasa mengetahui bahwa ayah saya dibawa tentara malam-malam. Mereka pasti membayangkan bahwa pada waktu itu (keadaan darurat militer – SOB yang sering kami dengar atau singkatan dari
Staat van Oorlog en Beleg, yang terus terang saya sendiri tidak tahu artinya) kalau ada orang yang dijemput malam-malam oleh penguasa militer, jarang yang kembali, bahkan kebanyakan hilang begitu saja tanpa ada kabar beritanya. Bayangan itulah yang menghantui mereka semua dan saya juga, meskipun saya masih sangat kecil untuk mampu mengerti apa makna penculikan, penahanan, kekejaman dan pembunuhan yang biasa didengan sehari-hari pada waktu itu. Hal yang saya ingat bahwa waktu itu, kami semua sangat terbiasa dengan suara tembakan dan desingan peluru yang terus memekakkan kesunyian malam tanpa mengetahui siapa sasaran tembak, dan besok paginya kami anak-anak kecil yang sepermainan, pasti berhamburan keluar mencari selongsong peluru yang jumlahnya beratus ratus untuk kami rangkaikan menjadi mainan.
Kondisi berciri keadaan perang lain yang tidak bisa saya lupakan pada saat itu, bahwa setiap rumah penduduk, diharuskan membuat lubang tempat persembunyian, dan beraktivitas di malam hari di bawah kolong rumah yang dikelilingi dengan dindingan bambu (rebbang) tersebut, ukurannya hanya pas untuk tempat perlidungan/tidur bagi seluruh anggota keluarga (biasanya ukuran 3×3 m dengan kedalaman 1,00 meter). Pada jam lima sore, (waktu itu, berlaku jam malam mulai pukul 18:00 sore sampai pukul 06:00 pagi) semua penduduk diharuskan sudah makan sore dan segera turun berlindung pada hamparan tikar di dasar lubang, duduk ngobrol atau tidur di sana sampai pukul enam pagi baru bisa keluar dari lubang perlindungan melakukan aktivitas (selama di lubang perlindungan tersebut tidak boleh menyalakan lampu – terkadang hanya curi-curi memakai lampu teplok minyak tanah yang ditutupi dengan kain hitan supaya nyalanya tidak terlihat dari luar). Kalau tidak mentaati ketentuan tersebut, resikonya kita bisa-bisa terkena peluru nyasar.
Foto salah satu terpaan peluru nyasar di pintu kamar ayah saya sekitar 60 tahun yang lalu (Foto nostalgia, H-Gany, 21 Juli 2009)
Hal ini memang nampaknya bukan hanya basa-basi, karena kami banyak menyaksikan pintu atau dinding berlubang kena peluru nyasar. (Malahan, pada bulan Juli 2009 saya masih sempat bernostalgia menemukan satu lubang peluru nyasar di rumah ayah saya, setelah lebih dari setengah abad berselang, hanya satu yang saya temukan, lainnya sudah tiada pada saat renovasi rumah beberapa tahun sesudahnya). Meskipun bekas terjangan timah hitam, yang saya temukan telah menjadi saksi bisu di sana hampir enam puluh tahun, namun begitu melihatnya, ingatan saya serta-merta terurai kembali seolah-olah sedang menyaksikan betapa mengerikannya keadaan perang waktu itu, di mana nyawa manusia sangatlah mudah dihilangkan, hamper setiap hari ada berita orang dibantai, digorok atau ditembak, meskipun terkadang hanya dipicu oleh kecurigaan yang tidak terbukti. Bulu kuduk saya spontan merinding membayangkan betapa kritisnya keadaan ayah saya yang dalam tahanan penguasa militer waktu itu.
~~~
Drama Penculikan Menjelang Dini Hari
Pada saat tengah malam menjelang dini hari di tahun-tahun 1952-an, penduduk kota kecil Watan Soppeng pasti sedang pulas-pulasnya tertidur diselubungi embun malam dengan udara yang cukup dingin berkabut, apalagi watu itu belum ada aliran listrik. Tidak keliru rupanya kalau Belanda menetapkan kota kecil-mungil Watan Soppeng dengan
Bandung Van Celebes, karena memang suasananya mirip Bandung, dikelilingi oleh pegunungan pada cekungan dataran tinggi sehingga menjelang tengah malam mulai turun kabut membuat udaranya sangat dingin sampai sekitar pukul sembilan pagi, baru kabutnya sirna diterpa sinar matahari pagi. Begitu diginnya sampai-sampai minyak kelapa-pun turut membeku, biasa dipakai sebagai minyak rambut, khususnya orang wanita, bahkan gadis-gadis anak sekolahan sekalipun.
Dalam suasana kedamaian Bandung van Celebes tersebut, pada suatu malam, sekitar satu regu pasukan berseragam tentara bersenjata perang lengkap berjalan mengendap-endap diikuti dari jarak jauh oleh sebuah mobil jeep militer eks Perang Dunia II, dan sebuah mobil pick-up bak terbuka dengan kursi panjang (biasa kami sebut sebagai mobil power tentara) dan lampu dimatikan, bergerak melewati Lorong 14 Bila Selatan, menuju rumah kediaman Keluarga kami. Begitu rapinya gerakan mereka, sehingga tidak ada yang menyadari kalau malam itu rumah sudah dikepung muka belakang, dan kedua mobil mereka sudah diputar balik dan diparkir didepan rumah, menghadap kembali ke jalan besar ke arah pusat kota Watan Soppeng.
Foto rumah almarhum ayah saya di mana beliau diculik oleh penguasa militer setempat, sekitar tahun 1952 – pada saat itu, belum ada beranda depan (lego-lego), dan tangganya-pun masih terbuat dari batangan bambu, bersandar tegak lurus terhadap pintu depan, dan dinding sebelah kanan masih berupa dinding bambu yang disebut dedde. (Foto nostalgia, H-Gany, 21 Juli 2009)
Dalam keadaan pengepungan dengan siap siaga tersebut, dua orang menaiki tangga depan (waktu itu masih terbuat dari susunan bambu utuh disebut “sapanah”), mengetuk pintu depan dengan suara yang sedikit tertahan-tahan, seperti tidak mau kedengaran tetangga, mengatakan: “Pak Andi, Pak Andi, beberapa kali (untuk meyakinkan bahwa ayah saya sudah bangun). Mendengar namanya di panggil, (yakin bahwa itu pasti bukan orang yang dikenalnya, karena biasanya beliau disapa dengan Pung Dullah), beliau pikirkan waktu itu, mungkin ada peristiwa gawat. Sambil menyingkapkan sarung tidurnya dengan suara curiga menanyakan: “Siapa itu, ada apa malam-malam begini datang!”. Mendengar suara ayah saya bertanya, salah seorang yang berdiri di depan pintu tersebut, dengan senjata pistol otomatis, (yang satunya memakai senapan laras panjang siap tembak juga) menjawab, masih dengan suara tertahan seperti bebisik: “Pak Andi, kami dari satuan penguasa militer, diperintahkan untuk membawa Pak Andi ke ke Sektor (maksudnya ke kantor), segera berangkat bersama kami, jangan mencoba melawan, kami sudah mengepung rumah anda, serahkan senjata anda kepada kami (waktu itu, memang ayah saya selalu membawa ke rumah pistol
colt pendek inventarisnya).
Mendengar hal tersebut, ayah saya yang tidak merasa bersalah apa-apa, mencoba menjawab: “Ada apa ini?, Tunggu saya siap-siap mengenakan pakaian dulu?”. Yang segera dijawab oleh mereka, tidak perlu siapkan pakaian (nanti besok suruh keluarga antarkan ke Sektor), segera saja ikut kami, nanti urusannya dijelaskan di kantor. “Kalau tidak percaya, lihat tuh di depan rumah – sambil mengarahkan lampu senternya menerangi kedua mobil yang siap mengangkut – sudah tersedia mobil militer menjemput anda, katanya meyakinkan.
Ayah saya dalam keadaan yang tegang, seperti biasanya mencoba menenangkan diri, mengenakan pakaian yang tergantung di sampiran belakang pintu, perlahan-lahan membangunkan ibu saya yang sedang tertidur pulas: “Ndi, ndi, (sapaan Ayah kepada Ibuku) ….. katanya sambil menepuk bahu ibu saya sangat pelan-pelan, “saya dijemput!”, mau berangkat sekarang, ada urusan penting, supaya menutup pintu, katanya lebih lanjut dengan hati-hati karena tidak mau membuat istrinya kaget pada dini hari itu.
Ibu saya juga yang tidak curiga sedikitpun, karena memang biasanya sering ada panggilan tugas malam-malam, langsung bangun mengantarkan ayah saya sampai di pintu dalam keadaan masih setengah sadar. Begitu pintu dibuka, tentara yang pegang pistol browning (mungkin itu komandannya) langsung menodongkan pistolnya ke Bapak saya meminta senjata pegangannya diserahkan. Peristiwanya hanya dalam bilangan detik, begitu pistol colt ayah saya diserahkan kepada mereka, beliau langsung ditarik menuju mobil jip yang dari tadi tidak dimatikan mesinnya, duduk di samping sopir, diapit dua orang bersenjata.
Ibu saya yang terbengong-bengong, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi, dihampiri oleh tentara satunya yang bersenapan laras panjang. “Jangan Panik Bu, kami diperintahkan untuk menjemput Pak Andi menghadap ke kantor kami (Sektor Militer), Ibu jangan panik, tutup saja lagi pintunya, besok Pagi Ibu datang mengatarkan pakaian dan peralatan mandi ke kantor kami (rumah Candu) di Jalan Terungku”, “mungkin akan menginap beberapa hari”, katanya sambil bergegas naik ke mobil pic-up pengawal, di mana semua yang tadinya mengepung rumah sudah siap duduk berbanjar menunggu di kursih panjang mobil tersebut. Tidak jelas berapa jumlah tentara semuanya, karena suasana sangat gelap, dan tidak ada lampu yang menyala (tahun 1954 baru jaringan listrik masuk ke Buccello, dan orang sipil dilarang memiliki lampu senter). Mereka langsung saja berlalu dalam hanya bilangan waktu semenit, dan tetap tidak menghidupkan lampu mobilnya sampai tiba di persimpangan jalan besar, seperti tidak meninggalkan kesan pencidukan sama sekali.
~~~
Setelah menyadari hal yang terjadi, Ibu saya, yang tetap berdiri kaku bengong di depan pintu, dengan serta-merta menangis, sambil berteriak panik memanggil nama kakek dan nenek saya, serta beberapa nama paman tetangga terdekat. Sontak saja suasana syahdu, aman dan damai Dusun Buccello tempat kami bermukim menjadi hiruk-pikuk. Bapak-bapak segera berdatangan membawa apa saja yang bisa dipakai sebagai senjata bela diri, menyangka ada huru hara, disusul ibu-ibu yang panik laksana bergujing satu sama lain menanyakan apa yang terjadi.
Begitu mereka diberitahu, langsung semuanya menjadi bisu, tuduk, laksana orang sedang berkabung laksana kematian anggota keluarganya. Mereka semuanya duduk mengerumuni ibu saya, sunyi, tanpa suara apapun kecuali isak tangis ibu saya yang tertahan-tahan karena tidak mau hal tersebut diketahui anak, anaknya. Sekali sekali terdengar suara, kakek, nenek, dan orang tua-tua tetangga kami: “Sabar …… Emma Radi (begitu mereka menyapa ibundaku), serahkan saja kepada Tuhan, kita harus tabah menghadapi cobaan”. “
Polo paa … polo fanni (ungkapan Bahasa Bugis, yang artinya kita harus menurut sepenuhnya, kalau menghadapi penguasa”), kata seorang dari saudara nenek ibundaku. Suasana tersebut, berlangsung tanpa tertidur sedikitpun sampai pagi tatkala matahari mulai mengusir kabut yang menyelimuti kota Watan Soppeng dari Timur, dan sayapun baru terbangun, menyaksikan suasana yang menyimpang dari kebiasaan keluarga kami, turut meramaikan susana, dengan raungan tangis sejadi-jadinya. Saya malah menjadikan orang tambah sibuk, mendiamkan, dan berita pencidukan ayah saya ini langsung menyebar dengan cepatnya ke seluruh pelosok kota, padahal waktu itu, belum dikenal radio atau surat kabar.
~~~
Saya masih terlalu kecil untuk membayangkan apa yang terpikir oleh ibu saya yang terlihat diam berlinang air mata kesedihan sejak saya menghampiri, dikerumuni anggota keluarga yang semuanya juga bersimbuh air mata. Sesaat kemudian sekitar pukul 08:00 pagi, ibu saya menguatkan diri, langsung bangkit ke kamarnya mengumpulkan pakaian dan peralatan sehari hari yang diperlukan ayah saya menginap untuk beberapa hari. Saya melihat hal ini cukup aneh, karena bukan hanya pakaian sehari-hari yang disiapkan, tapi juga kasur tipis dan kelambu kecil. Saya waktu itu membatin: “Untuk apa ayah saya dibawakan kasur dan kelambu segala”.
Sayapun berniat untuk turut mengantar, untuk mencari tahu apa yang terjadi, tapi anak-anak tidak diperkenankan datang, sehingga ibu saya hanya berangkat membawa perbekalan kebutuhan ayah dengan ditemani, seorang kerabat tetangga (yang saya tidak ingat lagi orangnya), menggunakan bendi milik kerabat tetangga juga. Siang baru mereka kembali dengan wajah yang sedikit cerah, mendapati ayah saya yang oleh ibunda dikatakan tenang-tenang saja. Kami semuanya, juga merasa sedikit lega, yang tadinya disarati pikiran macam-macam, khawatir kalau-kalau yang menciduk ayah bukan penguasa resmi, dan semacamnya.
~~~
Dua hari kemudian, keluarga kami, termasuk anak-anak diperkenankan untuk membesuk sambil membawakan makanan untuk ayah, tapi hanya terbatas pada ibunda dan anak-anaknya saja tidak boleh ditemani orang lain. Dengan menaiki bendi tetangga (satu-satunya media transportasi umum di Soppeng waktu itu), kami bersama ibunda menucu ke rumah tempat ayah ditahan. Ternyata rumah itu adalah “
Rumah CanduE” terletak di unjung timur Jalan Terungku, sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu, kecuali tiangnya yang terbuat dari kayu, dengan tiang setinggi sekitar 1,5 meter dari tanah ke lantai panggung yang terbuat dari sayatan belahan bambu (
salimaa). Rumah tersebut hanya dijaga oleh seorang tentara di ruangan depan, duduk pada sebuah meja yang menghadap ke pintu kamar-kamar tahanan.
Saya mengetahui kemudian, dari ceritera orang tua bahwa rumah tahanan tersebut, dulunya dibuat Pemerintah Kolonial Belanda sebagai tempat lokalisasi orang-orang yang mengkonsumsi candu, di mana hanya boleh dikonsumsi dengan membeli candu di rumah tersebut di bawah pengawasan petugas, makanya diberi nama rumah “CanduE” yang melekat sampai sesudah kemerdekaan. Namun kini, rumah itu, sudah lama dibongkar dan diganti dengan kantor instansi pemerintah daerah yang sempat saya foto sebagai nostalgia pada tanggal 21 Juli 2009 yang lalu.
~~~
Pagi itu kami sudah bangun pagi-pagi sekali, Ibu sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk hantaran membesuk ayah. Kami tidak sabar rasanya menunggu bendi tetangga untuk dating menjemput kami. Meskipun jarak yang kami tempuh hanya sekitar tiga kilometer, namun rasanya kuda yang menarik dokar yang kami tumpangi, sangat malas mengangkat kakinya, sehingga berjam-jam rasanya baru dokar tersebut sampai di depan rumah CanduE di mana ayah di tahan. Saya sempat ditegur ibu karena belum sempat bendinya pakir, saya tak sabar menunggu, meloncat turun dan berlari kecil memasuki pekarangan rumah tahanan.
Saya menggodel di ujung belakang kebaya ibunda menaiki tangga yang bagi saya cukup tinngi anak tangganya sehingga saya harus merayap dengan dibantu ibunda menarik tangan saya naik ke ambang pintu yang sebenarnya hanya 1,5 meter tingginya dari tanah. Tangan saya sempat ditahan lagi oleh ibu yang sudah menyentak-nyentak tak sabar mau masuk, sementara kami belum disuruh petugas jaga yang tampak sangar menyeramkan duduk di meja depan, lagi pula kami belum tahu ruangan mana tempat tahanan ayah. “Tidak apa bu, namanya saja anak-anak”, kata penjaga tersebut ketika ibu minta maaf atas tingkah laku saya yang tidak sabaran. “Itu kamar pak Andi, katanya menunjuk sebuah pintu kamar dari bamboo reok, sambil menuntun kami masuk, muka sangarnya mendadak sirna ketika menyunggingkan seberkas senyum.
Pada saat kami menghampiri kamar tahanan ayah, kami sama sekali tidak merasakan adanya nuansa sedang dalam tahanan militer. Ayah yang sedang duduk di atas kasur tipis, dihampar diatas lantai sayatan bambu (salima), berlapis tikar, tertutp rapih dengan seprei kain belacu, membaca buku tafsir quran lusuh di bawah naungan kelambu gantung sekitar dua jengkal diatas kepala, dan terbuka kedua sisi depannya, segera beranjak menyongsong kami, membuat lantai sayatan bambu yang diinjaknya berderak-derak menambah gaduhnya suara ratusan kalong yang bergelantungan memenuhi pohon asam di depan rumah tahanan. Spontan saja kami berebut memeluk ayah melepas rindu, laksana sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Pada saat itu, kami benar-benar merasa lega melihat suasana tahanan yang baik-baik saja, meskipun sangat sederhana, seolah-olah tidak melihat adanya tanda-tanda perlakuan tahanan militer pada diri ayah saya.
Satu-satunya tanda bahwa beliau lagi di rumah tahanan adalah adanya seorang tentara berpakaian seragam lengkap di meja depan dengan senapan laras panjang disandarkan di sisi meja. Saya pun tidak berupaya untuk mencari tahu siapa-siapa saja yang ditahan di beberapa kamar lainnya, melihat suasana yang berkesan bersahabat tersebut, malah saya segera mau pamit pulang, mengabarkan berita gembira ini pada semua kerabat yang sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Di pintu kamar menuju ruang tengah, sewaktu kami beranjak pulang, ayah minta kepada ibu untuk diantarkan nasi bubur, katanya lagi sakit gigi tidak kuat makan nasi keras. Saya sempat melirik sekilas melihat tangan beliau yang memegang pipi kirinya, memang nampak sedikit lebam dan membengkak.
~~~
Saya tidak sempat mengingat berapa lama persisnya ayah ditahan di sana, dan sayapun hanya satu kali itu bersama ibu membesuk ayah, dan hanya menyongsong ibu detiap kali beliau pulang membesuk ayah. Jawabannya pun seolah-olah sama setiap kali ditanya; “Yah Pueng baik-baik saja, nak! Doakan saja supaya beliau cepat pulang”. Hal tersebut menjadi rutinitas rumah tangga kami tanpa ditemani ayah, sampai suatu saat, suasana menjadi goncang kembali mendapat kabar bahwa ayah saya mau dipindah tahanan ke Kota Watampone. Kami bersama kerabat, sekali lagi kembali dilanda prahara diliputi kesedihan yang mungkin lebih dahsyat dari waktu penculikannya. Bagaimana tidak, waktu itu tersebar desas-desus bahwa tahanan yang dipindah ke Bone, pasti mengalami permasalahan berat, dan jarang mereka yang kembali. Bahkan desas-desus mengatakan bahwa kebanyakan mereka dihabisi di jalan dalam perjalanan ke Bone. Waktu itu, kalau kita mau bepergian ke luar kota, harus ikut dalam iringan konvoi yang diantar oleh tentara yang bersenjata lengkap. Banyak kejadian konvoi dihadang dan dihabisi gerombolan pada daerah yang hanya beberapa kilometer di luar batas kota. Sementara jalanan dari Soppeng ke Bone, waktu itu-satu-satunya harus lewat
Tanru’tedong (yang banyak tempat-tempat berbahayanya, dan sering terjadi pengadangan), karena jembatan pada jalur pintas lewat Wajo atau Lamuru kebanyakan sudah diruntuhkan gerombolan.
Menghadapi suasana genting tersebut, kami hanya bisa pasrah menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan, apapun yang dikendaki-NYA, termasuk menanamkan keikhlasan di hati, untuk menerima kemungkinan kalau seandainya memang Tuhan mentakdirkan kami hidup tanpa didampingi ayahanda tercinta, apa boleh buat, kami hanya mampu berdoa, dan berdoa.
Demikianlah, dengan diantar oleh doa-doa kami bersama keluarga besar di Soppeng, kami menghadapi kenyataan bahwa beberapa minggu kemudian ayah saya sudah selamat sampai ke tahanan di kota Watampone, yang memang masih asing bagi kami. Kami hanya bisa terus berdoa, sampai suatu saat mendapatkan berita gembira bahwa ayah saya sudah bebas dari tahanan, namun sementara harus tinggal bekerja di Kota Watampone sebagai polisi aktif kembali, alhamdulillah. Ibu menyusul menemani ayahanda ke Bone bersama adik bungsu saya yang masih berumur lima tahun pada waktu itu, karena kami semua tidak bisa meninggalkan sekolah di Watan Soppeng.
Di Kota Watampone, ayah ditempatkan pada sebuah rumah panggung milik penduduk, yang dekat dari kantornya. Saya bersaudara pernah di bawa serta ke Bone pada saat liburan, mengikuti iring-iringan mobil konvoi dikawal pasukan bersenjata. Perjalanan tersebut, meskipun konon bagi orang dewasa sangat berbahaya, harus menginap di jalan segala, membongkar rintangan yang dipasang gerombolan di tengah jalan, dan menegangkan karena setiap saat harus waspada terhadap serangan gerombolan bersenjata, tapi bagi saya sebagai anak kecil yang baru pertama kali seumur hidup bepergian, tidak terpikir sedikitpun akan ancaman bahaya, justru sebaliknya merupakan perjalanan darmawisata yang sangat mengasyikkan, dan sampai sekarang masih terekam indah di sanubari sampai ke detail-detailnya. Mungkin kerena itu, saya tidak pernah berupaya untuk mengetahui kelanjutan dan peristiwa di balik penahanan ayah.
~~~
Tersambar Haliltar Kegembiraan
Beberapa puluh tahun kemudian, ketika saya pulang liburan bersama keluarga di Soppeng sambil menengok orang tua yang sedang dalam persiapan pensiun, kami baru mengetahui detail dari prahara penahanan ayah yang justru sangat mengharukan dan mengandung banyak sekali pelajaran berharga dalam menjalani hidup di dunia ini yang justru sangat singkat. Saya sedikit merasa bersalah pernah menggap ikhwalnya biasa-biasa saja, Dari ceritera ayah yang kami dengar berjam-jam dengan tekun, kami mengetahui bahwa, mulai penculikan dirinya, sampai dipindahkan tahanan ke Watampone, beliau hampir-hampir putus asa menerima segala macam intimidasi dan siksaan fisik oleh oknum penguasa yang bergantian setiap malam mengintrogasinya.
Saat itu pula baru saya tahu bahwa pada saat kami membesuk beliau puluhan tahun yang lalu, justru diatur suasananya sedemikian rupa supaya kami keluarganya tidak berkesan bahwa beliau sedang dalam tahanan yang tersiksa berat. Ternyata, waktu beliau minta diantarkan bubur, waktu itu, dua giginya sebelah kiri atas bawah rontok karena benturan popor senapan, dan pukulan maupun tendangan yang bertubi-tubi memintanya mengaku atas kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Beliau ”tidak mau mengaku, sekalipun harus dibunuh, ini perinsip hidupku, katanya ber-api-api”. ”Tidak ada gunanya hidup di alam fana ini kalau harus berbohong mengaku, hanya karena tidak tahan diintimidasi atau disiksa”, katanya melanjutkan ceritanya sambil menarik nafas lega dalam-dalam. Saya melihat rasa bangga, syukur dan puas pada sinar matanya yang berkaca-kaca menuturkan hal ini. Pantas saja, sedikitpun tidak ditunjukkannya kepada kami semua gejala siksaan yang dialaminya pada saat di besuk keluarga, meskipun hatinya pasti meraung-raung menahan derita. Semuanya dilakukan karena khawatir kami merasa risau, cukup beliau saja yang mengalaminya. ”Semoga keturunanku, tidak pernah mengalami hal yang seperti ini di kemudian hari” tuturnya dengan lirih sambil meneguk kopi hangat kesukaannya.
Sedikitpun saya tidak bergeming dari kursi rotan keras yang dari tadi sudah terasa menjepit tulang ekorku, karena ingin mengetahui ceritera mengenai derama lanjutannya. Rupanya ayah bisa membaca apa yang ada di pikiran saya. Sebelum saya sempat menanyakan, beliau langsung melanjutkan ceritanya, seolah menjawab pertanyaan yang ada dibenak saya: ”Kenapa bisa di tahan? Apa tuduhannya dan bagaimana nyawanya bisa sekamat?” Padahal saya barusan dengar ceritera beliau bahwa hampir tiap malam tahanan yang bersamaan dengan beliau, secara demonstratif di bawa mobil dengan pengawalan bersenjata untuk dihabisi (istilah tembak mati) tanpa tentu rimbanya.
”Ini ceriteranya panjang nak”, lanjut beliau dengan pandangan yang jauh, seolah menerawang kembali peristiwa yang pernah menimpanya. Ternyata kejadiannya bermula dari adanya ”edaran permintaan sumbangan gelap” dari yang menamakan dirinya DI/TII kepada warga yang dianggap simpatisan di dusun Buccello. Konon, edaran tersebut dibawa malam-malam oleh orang tertentu yang ditakuti warga, apalagi disertai initimidasi, bahwa orang yang tidak menyumbang akan diculik dan dipotong lehernya. Seorang warga (masih keluarga dekat) yang cukup berada, memasukkan nama keluarga Andi Abdullah Gany dalam daftar, membayar, dan menandatanganinya sendiri, tanpa konsultasi keluarga kami, karena khawatir ayah saya berikut keluarganya diculik dan dipotong lehernya oleh gerombolan. Celakanya bahwa, pada suatu penyerangan besar, di markas gerombolan, tentara menyita daftar tersebut di mana ditemukan nama ayah saya tercatat sebagai salah seorang penyumbang.
Begitu daftar tersebut dilaporkan ke markasnya, spontan saja komandan tersebut, sebut saja namanya Letnan Surata (nama samaran), memerintahkan pasukannya menangkap ayah saya malam itu juga. Beberapa orang dalam daftar itu, yang terbukti menyumbang sudah dihabisi duluan tanpa diadili, dan ayah sayapun sudah direncanakan demikian. Hanya hal ini masih tertunda karena ayah saya tidak ada tandatangan pada daftar tersebut, dan tidak ada yang bisa jadi saksi. Juga karena ayah saya adalah anggota polri, yang sedikit banyaknya harus disertai dengan pembuktian autentik sebelum dinyatakan terlibat. Selanjutnya, melalui intimidasi dan siksaan mereka tidak bisa memaksa atau membuktikan ayah saya mengaku menyumbang Gerombolan. Kasus ini dianggap rumit oleh kuasa militer di Soppeng, sehingga harus dikirim perkaranya ke pimpinan yang lebih tinggi yang berkedudukan di Watampone.
~~~
Rupanya, Tuhan maha pengasih telah mengabulkan doa Ayah kami dan segenap keluarga besar, setelah tiba beberapa hari di Bone, entah bagaimana prosesnya, mengirimkan dewa penolong, seorang tentara berpangkat Mayor (sebut saja Mayor Arsendo, nama samaran), yang mendengar kabar adanya nama seorang anggota polisi Soppeng dengan inisial Gany, ditahan di tahanan militer Watampone. Tuhan menggerakkan hatinya, Mayor Arsendo pun mengirim anak buahnya untuk mencari tahu kebenaran berita penahanan anggota polisi berinisial Gany tersebut. Dia merasa panasaran, karena memang beliau mengenal baik ayah saya, karena sering bertemu untuk membahas masalah-masalah keamanan pada berbagai kesempatan rapat koodinasi di waktu lalu.
Begitu mendapat laporan bahwa yang ditahan tersebut adalah Ayah saya Andi Abdullah Gany, Mayor Arsendo langsung ke tahanan militer Bone, meminta untuk ayah dikeluarkan hari itu juga sambil mengatakan kepada komandan jaga: ”Keluarkan Pak Andi Sekarang, saya tahu persis siapa Pak Andi, dan saya berani menjamin sepenuhnya bahwa Pak Andi tidak mungkin menjadi Aggota atau sponsor Gerombolan, kalau ada apa-apa diri saya menjadi taruhannya, lepaskan dan bawa ke kantor saya” sambil beranjak pergi. Mendengar perintah dari Pak Arsendo tersebut karuan saja komandan jaga (yang berpangkat Letnan muda), menghormat, ”Siap komandan”, sambil memerintahkan anak buahnya membuka sel tahanan.
~~~
Mengenakan pakaian lusuh dari tahanan, ayah saya yang masih bingung penuh tanda tanya mengira bahwa inilah hari terakhir hidupnya, berjalan dengan gontai, seperti tahanan yang mau dieksekusi mati, memasuki kantor Mayor Arsendo. Setelah pengawal menyerahkan ayah saya ke kantor Pak Arsendo, dan menutup pintu kamar depan, pak Arsendo moncul di balik tirai di samping meja kerjanya langsung merangkul ayah saya, yang semakin kebingungan, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ayah saya tidak langsung mengenal Pak Arsendo, maklum masih dalam keadaan lunglai, dan sudah lama tidak bertemu, lagi pula tidak pernah sedikitpun menyangkan hal ini akan terjadi, karena sehari-harian, hanya kematianlah yang dipikirkannya.
Melihat gelagat tersebut, Mayor Arsendo, langsung saja menyapa duluan: ”Pak Andi, tidak usah dipikirkan, hari ini Pak Andi Bebas tanpa syarat, saya mengerti siapa Pak Andi dari pergaulan kita sehari-hari bertahun-tahun yang lalu, saya yang menjamin”. Siap-siaplah memanggil keluarga di Soppeng, dan bekerja kembali di Kepolisian, tapi sementara di Bone dulu, nanti kalau sudah mapan baru pindah lagi ke Soppeng, atau kemana saja kalau mau. Nanti saya yang urus dengan Kantor Kepolisian Bosowa, semua administrasinya”, Katanya dengan khas militer yang tegas dan mantap.
Entah apa yang ada dalam pikiran ayah yang disambar halilintar kegembiraan, hanya almarhum dan Tuhan saja yang tahu, tapi yang jelas, hanya, dua kata yang bisa keluar dari mulutnya, alhamdulillah dan terimakasih ya Allah berulang-ulang, disertai linangan air mata gembira, yang tidak pernah terbayang sebelumnya. ”Inilah buah semua ibadah dan silaturahim yang saya lakukan selama ini dengan disertai doa kalian, semua keluarga, ”tidak ada yang mustahil kalau Tuhan menhendaki”, ”Maha suci Allah yang telah melimpahkan Rakhmat-Nya kepada kita semua”, kata ayah dengan sorotan mata yang berbinar-binar menutup kisahnya. Tak terasa, hari menjelang magrib, kami telah duduk di kursi rotan keras tersebut berjam-jam, benar-benar tenggelam dan larut dalam kisah nyata beliau yang sempat terseggol prahara politik SOB di tahun 1950-an.